BUYA HAMKA TENTANG UMPAMA KELEDAI MEMIKUL BUKU

SEEKOR KELEDAI YANG MEMIKUL KITAB-KITAB

Syari’at Islam memberitahu dengan tegas dan nyata bahwa orang yang tidak mengikut peraturan itu, mesti celaka, putus pertaliannya dengan Tuhan dan dengan manusia. Orang seperti itu, mesti ditimpa murka Tuhan di mana pun dia berada. Ibarat pepatah, “Ke bawah tidak berurat, ke atas tidak berpucuk, di tengah digerek kumbang”.

Bahkan bila umat Islam sendiri melanggar perintah itu, akan lebih celaka nasibnya daripada orang yang bukan Islam, menderita balasan dunia sebelum balasan akhirat.

“Dan sesungguhnya akan Kami timpakan kepada mereka azab yang kecil (dunia) sebelum azab yang besar, supaya mereka kembali.” (QS. as-Sajdah [32]: 21).

Ada kalanya azab menimpa diri seorang, dan ada pula azab menimpa suatu umat.

Umat yang mengaku umat Muhammad, membangsakan diri kepada Islam, tetapi perintah agamanya tidak diikutinya, dimisalkan oleh Tuhan dengan seekor keledai yang memikul kitab-kitab.

Harga kitab-kitab yang dipikul itu sama baginya dengan harga rumput. Sama-sama dihempaskannya di mana dia lelah, karena tidak tahu apa isinya. Atau seumpama seorang penjual buku yang penuh persediaan kitab-kitab di dalam kedainya, tapi dia sendiri tidak tahu apa isinya.

Adakah terukir di akal, seorang sudah boleh disebut terdidik, terpelajar, teratur dan bersopan santun, sebab di rumahnya tersimpan buku-buku akhlak karangan Ghazali dan Ibnu Maskawaih?

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 358-359, Republika Penerbit, 2015).

UMPAMA KELEDAI MEMIKUL BUKU

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan Taurat kepada mereka, kemudian tidak memikulnya.” (al-Jumu’ah pangkal ayat 5).

Sebagaimana kita telah maklum, Taurat adalah kumpulan wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa yang berpangkal pada sepuluh hukum yang diturunkan di atas Bukit Thursina, di lembah suci yang bernama Thuwaa. Taurat dan tambahan peraturan-peraturan yang lain diturunkan Allah kepada beliau setelah Bani Israil dibebaskan dari perbudakan Fir’aun, setelah penderitaan 400 tahun lamanya. Setelah selamat sampai di seberang, diturunkanlah Taurat itu untuk mengatur masyarakat Bani Israil. Oleh sebab itu maka kaum Yahudi sebagai keturunan Bani Israil mengakui bahwa sejak meninggalnya Nabi Musa, Taurat itulah pedoman hidup mereka, dan karena Taurat itulah mereka disebut Ahlul Kitab atau kaum “Utul Kitab”.

Maka menjadi kebanggaanlah bagi mereka karena mereka mempunyai Taurat. Merasalah mereka bahwa mereka paling tinggi kedudukannya di sisi Allah, karena mereka menerima Taurat, walaupun Taurat itu hanya disebut dengan mulut, hafal segala ayatnya, tetapi tidak dihayati dan tidak dipegang teguh lagi inti sari yang dikandung di dalamnya. Samalah dengan keadaan orang yang dibebani dengan suatu pikulan, padahal tidak dipikulnya dengan benar,

“Adalah seumpama seekor keledai yang memikul buku-buku.”

Dipikulkan kepada keledai itu buku-buku untuk diangkat dari satu tempat ke tempat yang lain, sampai dia keluar keringat karena beratnya, tetapi keledai itu tidak tahu apa isi dari yang dipikulnya itu.

Perumpamaan keledai memikul ini ada dalam cerita perumpamaan Melayu. Yaitu tentang 2 ekor keledai menyeberangi sungai; yang seekor memikul beban garam dan yang seekor lagi memikul beban bunga karang. Yang mula-mula menyeberang sungai ialah yang memikul garam. Maka mulai saja kakinya tercecah ke dalam sungai, garam itu telah mulai cair karena bertemu dengan air, sehingga setelah ia sampai di seberang, dia merasa ringan karena garam itu telah hancur sama sekali kena air. Melihat temannya telah ringan demikian, maka keledai yang memikul bunga karang itu pun mencoba pula. Padahal pikulannya sangat ringan, sebab hanya bunga karang atau spons. Tetapi berbeda dengan kawannya yang telah menyeberang dengan keringanan itu, pada dirinya terjadi sebaliknya. Mulai saja kakinya tercecah masuk sungai, bunga karang telah mulai mengisap air. Bertambah dia melangkah bertambah berat bebannya, sebab air telah dihisap oleh bunga karang. Nyaris dia mati hanyut terbenam dalam sungai itu, karena berat beban air yang dibawanya.

Di masa mudaku pada Tahun 1926 seorang keling tua di Pasar Mudik di Padang bercerita tentang pepatah di negerinya, “Gaddake za’faran kia malem.” Artinya, “Keledai tidaklah tahu bahwa yang dipikulnya itu adalah za’faran yang harum wangi”. Baginya akan sama saja harga za’faran itu dengan rumput.

Di dalam ayat 5 surah al-Jumu’ah ini bertemu perumpamaan keledai memikul buku-buku. Bebannya berat, tetapi dia tidak tahu bahwa isi buku-buku itu adalah mahal. Begitulah orang Yahudi yang memikul Taurat itu. Dia membanggakan diri memikul Taurat, namun sikapnya terhadap Taurat itu sama saja dengan sikap keledai, isinya tidak dipelajarinya dan tidak diamalkannya.

Ayat ini ada pertaliannya dengan ayat yang sebelumnya, yaitu tentang karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Orang Yahudi di Madinah timbul dengki karena kaum yang ummiy dan seorang putranya yang ummiy pula jadi Rasul. Mereka selama ini memandang rendah orang-orang Arab itu, sehingga kata-kata Arab disejalankan dengan ummiy. Sampai mereka tidak memandang berdosa jika orang yang ummiy itu dianiaya saja, utang kepadanya tidak dibayar, dipandang manusia kelas dua; di mana bertemu kepada bangsa yang dipandang ummiy itu Allah memberikan karunia bukan kepada yang membanggakan kitab sucinya, padahal tidak mengamalkan isinya. (Lihat surah Aali ‘Imraan, ayat 75).

Mereka mengatakan diri terpelajar; memikul kitab Taurat, padahal isinya tidak mereka amalkan. Di dalam kitab-kitab Injil yang dikarang Matius, Markus, Lukas dan Yohannes (Yahya); didapati penyesalan Nabi Isa atas mereka, keras mempertahankan teks tulisan Taurat, tetapi tidak memahamkan hikmahnya. Yang terkenal ialah ketika mereka menangkap perempuan berzina, minta supaya Nabi Isa menjalankan hukum Taurat kepadanya, yaitu dirajam sampai mati. Nabi Isa al-Masih bersedia menyaksikan hukuman rajam itu. Beliau peringatkan bahwa orang-orang yang hendak menjalankan rajam kepada perempuan yang berdosa zina itu hendaklah orang-orang yang merasa bahwa dirinya tidak pernah berbuat dosa. Maka ketika hukuman hendak dijalankan dan perempuan itu telah diikat, dipersilakan tampil ke muka orang yang akan menjalankan hukuman rajam atas perempuan itu, dengan syarat dia tidak pernah berbuat dosa. Akhirnya tidaklah jadi hukuman itu dijalankan, karena tidak seorang jua pun di antara yang hadir itu yang merasa dirinya bersih dari dosa.

Inilah salah satu kesan dengan kebanyakan manusia yang memikul kitab Taurat itu.

Mereka sangat berhati-hati hendak menjalankan bunyi hukum sebagaimana yang tertulis, namun mereka tidak memerhatikan isi dan hikmah yang tersembunyi dari hukum.

Mereka berlomba hendak menuntut agar hukum dijalankan atas orang lain, tetapi tidak ingat hendak menyesuaikan isi Kitab dengan hidupnya sendiri.

“Buruklah perumpamaan bagi kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah.”

Meskipun mulut mereka tidak pernah memungkiri bahwa isi kitab Taurat itu adalah kebenaran sejati dari Allah, namun mereka adalah jadi pendusta besar, karena isi Kitab itu tidak pernah mereka sesuaikan dengan kehidupannya sendiri.

Oleh sebab itu kalau dibuat perumpamaan dengan keledai memikul buku-buku adalah perumpamaan yang buruk, tetapi sekaligus tepat.

“Dan Allah tidaklah akan memberi petunjuk bagi kaum yang zalim.” (ujung ayat 5).

Karena yang terlebih dahulu zalim, yaitu aniaya atau keluar dari garis yang benar, ialah mereka sendiri. Sebab itu kalau Allah tidak memberikan petunjuk lagi, sehingga dalam kehidupan mereka itu hanya seperti merunut kain sarung, berputar dari situ ke situ saja, dari sebab salah mereka sendiri.

Keledai memikul buku-buku ini bukan saja mengenai diri orang Yahudi yang menerima Taurat. Orang Islam umat Muhammad saw. pun serupa juga dengan “keledai memikul buku-buku” yang tidak tahu atau tidak mengamalkan apa isinya. Berapa banyaknya kaum Muslimin yang fasih sangat membaca Al-Qur’an, tetapi tidak paham akan maksudnya. Atau bacaannya itu hanya sampai sebatas leher saja, tidak sampai ke lubuk hati dan jiwa.

Sebab itu dengan tegaslah al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menulis dalam kitabnya, I’lamul Muwaqqi’in, bahwa ayat ini, “Walaupun dijadikan perumpamaan bagi orang Yahudi, namun makna yang terkandung di dalamnya mengenai juga bagi orang-orang yang memikul Al-Qur’an, namun mereka tidak mengamalkannya dan tidak memenuhi haknya dan tidak memelihara maksudnya dengan sepatutnya.”

“Katakanlah, ‘Wahai orang-orang Yahudi.'” (pangkal ayat 6).

Yaitu wahai orang-orang yang menepuk dadanya meninggikan dirinya dan menyebut bahwa mereka adalah orang Yahudi. Dan orang Yahudi mendapat hak istimewa di sisi Allah,

“Jika kamu menyangka bahwa kamulah yang auliya’ bagi Allah, bukan manusia lain.”

Orang Yahudi di zaman Rasulullah itu, ketika ayat ini diturunkan, sampai pun kepada zaman kita sekarang ini mempunyai perasaan bahwa mereka adalah bangsa yang terpilih di sisi Allah. Bangsa-bangsa yang lain ini adalah hina dina belaka.

Di dalam surah al-Maa’idah, ayat 18, pernah disebutkan perasaan orang Yahudi dan Nasrani,

“Dan berkata orang Yahudi dan Nasrani: Kami ini adalah anak-anak Allah dan orang-orang yang paling dicintai-Nya.” (al-Maa’idah: 18).

Orang yang paling dekat kepada Allah, ialah orang yang telah memberikan segenap pengorbanan untuk menegakkan jalan Allah. Orang-orang yang demikian telah disebut Auliya’, kalau orang seorangnya disebut Wali. Maka di dalam surah Yuunus, ayat 62, Allah menunjukkan ciri-ciri yang khas dari para Auliya’ itu,

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya auliya’ Allah itu tidaklah mereka merasakan takut dan tidaklah mereka berduka-cita.” (Yuunus: 62).

Dijelaskan bahwa mereka itu tidaklah merasa takut akan rugi, akan tewas dan serba macam penderitaan. Terutama ialah bahwa mereka tidak sekali-kali merasa takut akan mati. Asal untuk membela jalan Allah, mereka bersedia mati.

Dan mereka tidak merasa duka cita jika ditimpa oleh suatu cobaan, jika misalnya kehilangan harta, kematian anak dan orang-orang yang dicintai, atau mendapat cacat badan karena korban dari perjuangan.

Lalu diterangkan sebab-sebab hilangnya ketakutan itu,

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka itu adalah bertakwa.” (Yuunus: 63).

Karena adanya iman dan takwa itu mereka tidak mengenal takut dan gentar dan tidak pernah berduka-cita, mereka selalu girang, karena hidup mempunyai tujuan.

Di ayat 64 lanjutannya dijelaskan bahwa bagi mereka itu telah sedia berita yang menggembirakan dunia ini dan akhirat kelak. Dan dijelaskan pula bahwa jalan pasti yang telah digariskan oleh “Kalimat Allah” yaitu kalau dia wali, pasti tidak ada rasa takut akan mati.

Pertama, karena dia wali Allah, artinya dia cinta kepada Allah. Orang yang cinta kepada Allah rindu sekali lekas bertemu dengan Allah. Sebab itu dia menghadapi maut dengan senyum.

Kedua, kalau ada orang lain yang menantang Allah, mencemooh kepada Allah, dia berani bertentangan dengan orang itu, walaupun lantaran itu dia akan mati terbunuh. Kalau dia mati lantaran itu, dia akan mendapat kemuliaan yaitu mati syahid.

Sekarang orang-orang Yahudi itu mengakui bahwa mereka adalah wali-wali Allah, orang yang paling dekat kepada Allah, orang yang paling cinta kepada Allah dan dibalas pula cintanya oleh Allah; sedang manusia lain tidaklah ada yang mencapai derajat setinggi mereka. Sekarang ditentanglah pengakuan mereka,

“Maka cita-citakanlah mati, jika kamu orang-orang yang benar.” (ujung ayat 6).

Kalau benar kamu wali-wali Allah, cobalah citakan mati!

Berani?

Mereka akan gugup menjawabnya karena persediaan jiwa tidak lengkap. Karena Taurat hanya dipikul, tidak diamalkan. Karena hanya membanggakan telah diturunkan kitab, bukan karena menegakkan isi kitab itu. Sebab mereka jelas ragu-ragu, maka jawabnya telah disediakan lebih dahulu oleh lanjutan ayat,

“Dan tidaklah mereka mencita-citakannya selama-lamanya.” (pangkal ayat 7).

Selamanya mereka tidak akan mencita-citakan maut. Karena hati mereka terpaku kepada dunia dan terpaku kepada harta benda. Dan sebab apa yang telah didahulukan oleh tangan mereka. Artinya dari sebab langkah-langkah yang telah terlanjur di masa lampau.

Inti dari ayat ini berisi ilmu yang mendalam tentang jiwa manusia, kalau manusia telah bersalah di zaman yang sudah-sudah, sukarlah bagimu buat mengajak orang lain agar jangan berbuat kesalahan seperti itu.

Rasa dosa telah menekan jiwanya.

Dalam sejarah orang Yahudi nyata kelihatan bahwa kesalahan mereka telah besar dalam memungkiri kebenaran. Mula Nabi Muhammad saw. hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka itu telah membuat perjanjian dengan beliau akan hidup berdamai, akan bertetangga baik. Tetapi melihat kemajuan gerakan Islam, kian lama kian timbullah rasa dengki dalam hati mereka, sehingga mereka memungkiri janji itu diam-diam, mereka hubungi musuh-musuh Rasulullah saw. yang ada di Mekah, dan ketika ditanyai mana yang baik, agama Muhammad atau agama menyembah berhala, mereka menjawab menyembah berhala lebih baik; padahal agama Yahudi yang mereka peluk adalah berdasarkan tauhid sebagaimana Islam juga, sebab sumbernya satu. Bani Nadhir membuat mufakat busuk hendak membunuh Nabi. Bani Quraizhah menyertai persekongkolan Quraisy dengan Arab yang lain dalam Peperangan Ahzab, ketika Kota Madinah mulai dipagari dengan parit dalam yang bernama Khandaq.

Oleh sebab itu maka perlawanan mereka kepada Nabi saw. tidaklah atas dasar cita-cita yang suci, yang di zaman sekarang disebut ideologi.

Lama sebelum Nabi pindah ke Madinah mereka telah selalu mengatakan kepada orang-orang Arab di Madinah bahwa seorang Nabi akan datang. Tetapi setelah Nabi itu datang, yang mereka kenal sebagaimana “mengenal anak-anak mereka sendiri”, sebab telah tersebut tanda-tandanya dalam kitab Taurat dan kitab-kitab nabi yang lain, hati mereka jadi berubah. Mereka memungkiri isi kitab mereka sendiri. Kalau dalam kitab itu memang masih terpancang janji dan berita gembira menunggu kedatangan nabi itu, mereka takwilkan kepada yang lain. Yang ditunggu itu bukanlah Muhammad ini, tetapi nabi yang lain lagi kelak.

Oleh sebab pendirian itu telah salah dari bermula, mereka sendiri pun telah merasa bahwa yang mereka pertahankan itu bukan lagi suatu kebenaran yang sejati, melainkan golongan sendiri. Sebab itu kalau ditanyakan, sudikah kamu menempuh maut, kalau betul kamu merasa bahwa kamulah wali-wali Allah? Mereka tidak berani, mereka takut.

“Dan Allah lebih mengetahui akan orang-orang yang zalim.” (ujung ayat 7).

Artinya bahwa rahasia yang tersembunyi di belakang, atau hakikat yang tersembunyi dalam hati mereka diketahui oleh Allah. Mereka memang sengaja hendak membantah, sengaja hendak menantang Nabi dan ajarannya itu saja. Bukan karena palsunya Nabi itu dan bukan pula karena salah apa yang dia ajarkan; mereka semata-mata tidak mau kalau “kaum Ummiy” yang tidak terpelajar itu akan menduduki tempat yang layak di muka bumi.

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya maut yang kamu lari daripadanya itu.'” (pangkal ayat 8).

Kamu lari daripadanya karena kamu sangat takut menghadapinya. Karena kamu sangat cinta akan hidup di dunia ini. Karena kamu ingin hendak hidup 1.000 tahun (surah al-Baqarah, ayat 96). Ke mana pun kamu lari,

“Sungguh ia akan menemui kamu.”

Ke mana kamu akan lari mengelak dari maut? Padahal di tempat kamu akan bersembunyi itulah ia menunggu. Kamu bersembunyi ke dalam peti yang pengap, supaya Malaikat Maut jangan masuk menjemput nyawamu, namun karena pengap itulah kamu akan mati. Kamu lari ke dalam lautan yang dalam, maka di dasar laut itulah mati menunggumu.

“Barangsiapa yang takut akan sebab-sebab kematian, pastilah dia menemuinya. Walaupun akan didakinya tingkat-tingkat langit dengan tangga.”

“Kemudian itu akan dikembalikan kamu kepada Yang Maha Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata.”

Yaitu Allah SWT, karena pengetahuan sejati adalah pada-Nya saja. Dia yang sebenarnya mengetahui akan barang yang nyata, yang dapat ditangkap oleh pancaindra kita, yang dekatnya dapat dipegang, jauhnya dapat ditunjukkan. Sedangkan yang nyata itu saja pun tidaklah sempurna pengetahuan kita terhadapnya; seperti gunung yang dianggap nyata itu saja pun tidaklah cukup pengetahuan kita; berbeda tempat tegak berbeda pula yang tampak. Nyata kelihatan dari jauh puncak sebuah gunung yang amat indahnya. Tetapi ditakdirkan kita sampai ke puncak itu, akan nyata pulalah bahwa dia tidaklah seindah daripada yang kita lihat dari jauh. Warna alam yang kita lihat pun berbeda di waktu pagi mulai dari matahari terbit dengan waktu senja ketika matahari akan terbenam, padahal yang dilihat itu-itu juga.

Sehingga apa yang kita katakan nyata itu, kerapkali, bertambah diselidiki bertambah tidak nyata lagi.

Adapun yang gaib lebihlah sulit lagi daripada yang dianggap nyata itu. Banyak hal yang kita tidak pernah bertemu, kita tidak pernah melihat dengan mata, atau mendengar dengan telinga, atau meraba dengan tangan, tetapi akal meyakinkan bahwa dia ada. Dalam diri kita sendiri pun terdapat banyak kenyataan yang tetap gaib bagi kita dan banyak pula hal yang gaib namun dia nyata menurut akal kita.

Dan bagi orang Yahudi yang jadi pokok seruan ayat tadi, diberi ingatlah bahwa mereka akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui yang nyata, yang syahadah yang dapat disaksikan pancaindra, termasuk kitab Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an. Dan di sana pula kelak akan dibongkar sesuatu yang gaib bagi orang lain, tetapi jelas bagi Allah; yaitu sebab-sebab kamu mendustakan Nabi yang telah diutus Allah itu, sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi saw. dari Abu Hurairah,

“Demi Allah yang diri Muhammad tergenggam di Tangan-Nya, tidaklah mendengar akan daku dari umat ini, seorang Yahudi dan tidak pula seorang Nasrani, kemudian dia pun mati, padahal tidak juga dia beriman kepadaku, melainkan jadilah dia dari ahli neraka.” (HR. Muslim).

“Maka akan Ia bawakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (ujung ayat 8).

Maka di hadapan Allah kelak akan terbukalah rahasia itu semuanya. Keingkaran dan keras kepala menolak kebenaran yang nyata akan mendapat perhitungan yang saksama di hadapan Allah. Sedang ajaran sejati dari Muhammad saw. adalah sesuai dengan fitrah (jiwa murni) manusia, sehingga seorang Badwi dari sebuah desa yang jauh, ketika ditanyai apa yang menarik hatinya memeluk Islam, dia telah menjawab bahwa tertarik hatinya, karena kalau dia dengar sesuatu yang diperintahkan oleh Nabi, sebelum perintah didengarnya, hati kecilnya telah mengatakan bahwa perbuatan itu memang baik. Dan kalau ada larangan, maka sebelum larangan itu didengarnya dari Rasul, hatinya pun telah mengatakan bahwa perbuatan semacam ini patutlah dilarang.

Kemudian dari itu maka ayat-ayat yang mengenai Yahudi dengan sikap mereka menepuk dada mengatakan bahwa mereka adalah wali-wali terdekat kepada Allah, padahal mereka takut mati, bukan saja bertemu pada diri orang Yahudi; orang Islam pun banyak yang ditimpa penyakit demikian itu. Mereka menyangka bahwa apabila kita sudah bernama Islam, walaupun kehidupan kita jauh dari apa yang diajarkan oleh Islam, maka kitalah orang yang paling dekat kepada Allah. Kita katakan bahwa umat Muhammad semulia-mulia umat, padahal kita tidak mengukur diri kita apakah benar-benar umat Muhammad. Maka dalam ayat ini pun telah diberikan “termometer” untuk mengukur “panas dingin” udara iman di diri kita. Beranikah kita menghadapi maut karena mempertahankan agama Allah? Beranikah kita menempuh syahid karena berjihad pada jalan Allah? Masihkah hati kita terikat pada dunia fana ini, sehingga timbul rasa takut mati?

Hendaklah kita camkan, bahwa sebab turun ayat ini karena ada di zaman Nabi kita, Yahudi-yahudi berperangai demikian, lalu mereka ditegur.

Bukan karena Yahudinya, melainkan karena perangainya.

Dan Nabi pun pernah mengatakan bahwa kamu akan mengikuti jejak mereka setapak demi setapak.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 122-127, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUSA DENGAN BANI ISRAIL (II)

“Dan, Kami tuliskan untuknya di dalam alwah tiap-tiap sesuatu, sebagai pengajaran dan penjelasan bagi tiap-tiap sesuatu.” (al-A’raaf pangkal ayat 145).

Artinya, bahwa Allah telah menyerahkan kepada Nabi Musa beberapa buah luh. Alwah adalah jamak dari luh. Artinya lembaran-lembaran yang keras. Batu tulis anak sekolah dinamai juga luh. Di dalam lembaran-lembaran alwah itu, tertulislah banyak pengajaran dan penjelasan yang akan mengisi hati dan jiwa, memperdalam iman dan keyakinan kepada Allah. Penjelasan dari pokok-pokok syari’at yang wajib dijalankan oleh Bani Israil.

Di sini Allah berfirman bahwa Dia sendiri yang menuliskan isi alwah artinya diisi dengan qudrat iradah-Nya sebagaimana juga menciptakan matahari, bulan, bintang-bintang, dan bumi, tidak campur tangan orang lain atasnya.

Tentang bagaimana cara Allah menuliskan itu tidaklah perlu kita kaji supaya jangan timbul khayal yang tidak-tidak.

“Lantaran itu peganglah dia dengan teguh dan perintahkanlah kaum engkau mengambil yang sebaik-baiknya.”

Artinya, bahwasanya isi kitab Taurat yang penuh dengan pengajaran dan penjelasan itu, tidaklah akan ada artinya dan manfaatnya kalau sekiranya hanya semata dibaca, tidak dipegang teguh dan dijalankan. Isi kitab suci tetaplah suci dan tetaplah benar. Sebab, dia datang sebagai wahyu dari Allah. Akan tetapi, kalau dia hanya jadi bacaan saja, tidaklah akan ada pengaruhnya bagi menuntun jiwa umat yang didatangi kitab itu.

“Akan Aku tunjukkan kepada kamu tempat orang-orang yang berbuat fasik.” (ujung ayat 145).

Kedurhakaan yang paling besar atau yang disebut fasik ialah kitab suci dijadikan bacaan, tetapi isinya tidak dijalankan dan tidak dipegang teguh.

Akibat daripada orang yang seperti ini kelak kemudiannya ialah kesengsaraan dan kehinaan dan kejatuhan martabat dalam kehidupan. Di situlah tempatnya!

Dengan tidak disadari bahwa dia telah hina karena fasik, masih saja mereka mulia karena “menyimpan” kitab itu. Padahal, sudah hina sebab kuat kuasa peraturan itu tidak dijalankan lagi; terutama dalam diri sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 520-521, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TIDAK ADA TEMPATNYA TAKUT MELAINKAN ALLAH SWT

“Janganlah kamu menyangka, bahwa orang-orang yang kafir itu akan dapat menguasai keadaan di muka bumi ini. Dan tempat diam mereka ialah Neraka. Sungguh amat buruklah akhir-akhir kesudahan mereka.” (an-Nuur: 57).

“Akan datang zaman itu, seorang perempuan berjalan kaki sendirian dari Hirak (dekat Iraq) menuju Mekah, tidak ada tempatnya takut melainkan Allah.” (Hadits).

Kemudian pada ayat 57 diobatlah keraguan hati orang yang beriman, jika dia terpesona oleh kekuasaan, kemegahan, dan keangkuhan orang yang kafir di atas bumi ini. Betapapun gagah perkasanya orang yang kafir itu, namun mereka tidaklah dapat menguasai seluruh persoalan karena kekafiran itu tidaklah akan terluput dari adzab siksa di atas bumi ini juga. Tangannya yang mencencang, maka bahunya jua yang akan memikul. Hukum itu berlaku buat semua orang, karena kebenaran itu terang dan lurus jalannya, sedang kebatilan itu gelap dan bengkok-bengkok. Akal yang sehat dan pikiran yang benar dapatlah merasai adanya hukum keadilan, yaitu yang bungkuk dimakan sarung, yang curang masuk jurang.

Makna kafir ialah menampik dan menolak, tidak mau menerima kebenaran, ingkar akan ajakan menuju jalan yang lurus.

Oleh sebab itu, janganlah ayat ini dipandangkan semata-mata kepada orang kafir kitabi. Sebab ada juga umat Islam sendiri, menerima pusaka agama dari ayah-bundanya, tetapi hukum agama yang dituntunkan oleh Rasul itu diadakannya saringan. Maka yang sesuai dengan hawa nafsunya diikutnya dan mana yang tidak atau yang berat ditinggalkannya.

Untuk memahami ayat ini perhatikanlah sejarah umat beragama sejak wahyu diturunkan Allah SWT.

Seluruh Anbiya’ dan Mursalin membawa satu pokok perintah, yaitu mempercayai satu Tuhan dan mencintai sesama manusia. Datang umat Yahudi dengan bangga mengatakan, bahwa merekalah “Bangsa yang dipilih Allah” dan istimewa di atas dunia ini. Lalu mengumpul harta sebanyak-banyaknya, hingga tak tahu halal dan haram. Bunyi kitab Taurat dipegang teguhnya, isi dan inti sarinya tidak dipedulikannya. Maka datang Nabi Isa menyadarkan mereka kembali, supaya kembali ke pokok ajaran yang asli tadi. Beliau katakan, bahwa mengumpulkan harta tidaklah akan masuk ke dalam surga, sebelum orang dapat memasukkan unta ke dalam liang jarum.

Kemudian Nabi Isa pun wafat. Maka datang pula umat di belakangnya yang karena sangat cintanya kepada Nabi Isa, dikatakannya, bahwa Nabi Isa itu anak Tuhan, dan Tuhan itu adalah tiga, tetapi ialah satu. Dan pendeta-pendeta mempergunakan pengaruhnya yang besar, sehingga dia merasa berkuasa buat mengusir kucil orang dari dalam agama atau mengampuni dosa orang.

Maka datanglah Nabi Muhammad saw. memberi peringatan supaya orang benar-benar mempergunakan akal. Tuhan Tiga-Satu, Satu-Tiga, adalah kepercayaan yang tidak masuk akal. Dan Isa al-Masih sendiri pun tidak disuruh mengajarkan demikian. Dan pendeta-pendeta itu bukanlah Tuhan.

Sekarang dalam kalangan umat Muhammad saw. sendiri pun tidak kurang terdapat penyakit yang terdapat pada umat yang terdahulu itu. Ada yang berkata, bahwa umat yang paling tinggi di dunia ini hanyalah umat Islam, meskipun mereka tidak mengamalkan ajaran Islam dan tidak pernah menuruti langkah Rasul. Dan ada pula kaum sufi yang mengatakan, bahwa Nabi Muhammad saw. itu adalah penjelma Allah SWT (Ibraza Haqiqatihil Muhammadiyah), malahan marah kalau ditegur kepercayaannya yang sesat itu. Bahkan ada pula ulama-ulama Islam yang berkata kepada muridnya, asal suka membayar azimat (jimat) yang diberikannya, niscaya akan terlepas dari adzab api neraka,

“Akan kamu ikuti jejak umat yang terdahulu dari kamu, jejak terompah di atas jejak terompah.”

Oleh sebab itu sebagai kesimpulan dari ketiga ayat ini, ayat 55-57 adalah sebagai berikut.

1. Cita-cita menjadi Khalifah Allah di atas bumi ini, artinya memegang tampuk pemerintahan di atasnya, pasti berhasil, asal kamu masih tetap beriman dan beramal saleh. Yang cita-cita itu pasti tercapai, yaitu agamamu tegak tidak ada gangguan dan keamanan timbul, segala kekacauan hilang. Sebab semuanya itu didapat dengan teguh percaya kepada Allah SWT. Tetapi siapa yang menyeleweng, terhitunglah dia orang yang fasik mendurhaka.

2. Untuk memelihara hasil yang telah didapat dan untuk mengejar cita yang belum dicapai hendaklah perteguh pribadi dengan shalat dan suburkan masyarakat dengan zakat dan tegakkan disiplin dengan taat kepada Rasul.

3. Orang yang membantah atau menampik atau menolak kebenaran Ilahi, walaupun siapa, walaupun dia mengakui dirinya orang Islam, tidaklah akan luput dari akibat kedurhakaan itu di bumi ini. Tempatnya ialah Neraka. Neraka dunia karena kegelisahan hidup, sehingga mungkin menyebabkan gila, atau cemas, takut, cemburu kepada orang, benci dan dendam. Dan Neraka akhirat yang lebih dahsyat lagi. Maka akhir kesudahan dari orang yang keluar dari garis kebenaran adalah buruk sekali, atau tragis sekali.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 325-327, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KELEDAI MEMIKUL KITAB-KITAB

Kepala-kepala agama yang terdahulu menutup mati pintu bagi pengikut agama itu akan memahamkan maksud dan patinya. Maksud mereka hanya semata-mata untuk melebihkan diri, supaya mereka saja yang dianggap alim, bijak, dan pintar. Dengan itu tetaplah kekuasaan dalam tangan mereka. Orang banyak diharamkan memegang dan menyentuh, tetapi beliau sendiri halal. Yang boleh hanya membaca saja, memahamkan tidak. Banyak syarat-syarat yang mesti ditempuh lebih dahulu, yaitu syarat-syarat yang bukan alang kepalang sukarnya. Lama-lama mereka sendiri terikat pula dengan angan-angan mereka sendiri, yaitu tidaklah mereka paham lagi apa maksud dan isi kitab suci. Mereka hanya semata-mata menyembah tulisan, bukan kepada maksud; kepada huruf, bukan kepada tujuan. Siapa melanggar agama menurut yang mereka pahamkan dikucil dari agama. Jadi merekalah yang menguasai agama.

Diambilnya Hak Tuhan.

Maka datanglah Al-Qur’an mengkritik keras kejadian dan peraturan yang pincang ini. Satu kali menurut Al-Qur’an:

“Setengah mereka ada yang ummi, tidak mereka ketahui akan Kitab itu hanya semata-mata amani (angan-angan), tidak ada yang mereka ketahui, hanyalah sangka-sangka saja.” (QS. al-Baqarah [2]: 78).

Setelah itu Allah dengan terang merendahkan derajat orang yang memikul kitab suci tetapi tidak mengerti dan tidak paham maksud dan isinya.

Tuhan berfirman,

“Perumpamaan orang yang dipikulkan kepada mereka kitab Taurat, tetapi mereka tidak sanggup menanggungnya adalah seumpama keledai yang memikul kitab-kitab jua layaknya. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat Allah, dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum yang aniaya.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 5).

Amani, yang diartikan dengan angan-angan itu, maksudnya (menurut tafsir) ialah semata-mata pandai membaca, tidak memahamkan isinya. Bukan main qari, kena makhraj dan tajwid-nya, tetapi pahamnya kosong. Dengan sendirinya mereka hanya menurut kira-kira saja, pahamnya tidak berdiri pada yang betul, tidak beralasan. Mengerjakan suatu perbuatan yang mereka sangka mendatangkan kesayangan Allah, kiranya membencikan Dia. Mereka perbuat suatu yang mereka sangka ibadah, kiranya Bid’ah. Pada suatu masa mereka bertegang urat-leher mempertahankan pendirian tetapi tidak ada bukti, sehingga main takwil-takwil-an saja.

“Celakalah (wailun) bagi orang yang menyuratkan kitab dengan tangan mereka sendiri, kemudian mereka katakan bahwa buatan tangan sendiri itu dari Allah, kehendak mereka hanyalah supaya pekerjaan itu mereka hargai dengan harga yang sedikit.” (QS. al-Baqarah [2]: 79).

Orang yang dimisalkan Tuhan dengan keledai memikul kitab-kitab adalah orang yang tidak tahu mahal atau murahnya isi kitab Taurat yang mereka pikul itu. Memang jika Allah membuat misal, cocok dan lekas masuk akal. Coba perhatikan keledai, disuruh memikul rumput, bila sampai di tempat perhentian dihempaskannya dirinya dan dihempaskannya pula rumput yang dipikulnya itu lantaran berat. Setelah itu suruh pula dia memikul padi, bila sampai di tempat perhentian, padi itu akan dihempaskannya pula sebagaimana menghempaskan rumput, karena dia tidak tahu buah padi yang akan gugur. Dia tidak tahu perbedaan harga padi dengan rumput. Orang yang bersifat sebagaimana keledai itu cuma soraknya yang keras, tetapi derajat akalnya tidak sampai mencapai bagaimana mahal barang yang terpikul di atas pundaknya. Sejak dari nenek-moyangnya dia telah teradat disuruh memikul, apa isi, bagaimana maksud dan ke mana tujuan yang dipikulnya dia tidak paham, tidak mengerti. Keledai memikul kitab dengan keringat payah membawa, sedang dia sendiri tidak mengerti isi kitab. Maka kepala-kepala agama itu demikian pula layaknya. Oleh karena bodoh dan tidak tahu kebodohan diri maka kitab-kitab yang akan memberi keuntungan itu telah memberikan kerugian diri. Tidak menghasilkan ilmu, tetapi menghasilkan keberatan.

Dengan segala kritik yang bertubi-tubi dalam Al-Qur’an itu, dituruti oleh berpuluh, bahkan beratus ayat yang menghasung berpikir, menggerakkan hati supaya mempergunakan akal, menyuruh supaya mata digunakan melihat dan menilik, telinga supaya mendengar dan menimbang, hati supaya merasa dan tangan buat memeriksa, yang kalau segalanya itu tidak diacuhkan, maka sama derajat dengan binatang. Dengan segalanya itu nyatalah bahwa Al-Qur’an, Islam sangat menyeru supaya orang berpaham dan berilmu. Islam benci kalau Al-Qur’an hanya dibaca dan dilagukan saja, tidak dikorek rahasia yang tersimpan di dalamnya. Al-Qur’an tidak membedakan tingkatan orang bawah dengan tingkatan pemangku agama dalam Islam, tidak ada pendeta-pendetaan. Semua orang bisa jadi pendeta, semua orang boleh memperhatikan Al-Qur’an dan hadits Nabi. Itulah sebabnya kalau bukan karena kebodohan, sukar orang Islam yang dapat tertarik oleh agama lain, sebab mereka lekas paham akan agamanya.

Tetapi jangan dilupakan, bahwa pada masa yang akhir ini penyakit demikian telah pindah ke dalam pergaulan kaum muslimin. Kaum ulama mencoba pula hendak mengangkangi dan hendak menjualbelikan agama dengan harga yang sedikit, orang banyak hendak dijual tegak-tegak, tidak harus memahamkan agama kalau tidak mempunyai syarat-syarat yang tentu. Al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan kalau tidak memenuhi syarat-syarat yang beliau tentukan. Ikut saja kata orang yang telah terdahulu, habis perkara.

Tetapi mudah-mudahan sebagian umat pada masa ini telah insaf. Paham demikian telah mulai dibasmi. Jangan mengikuti saja akan pendapat orang yang telah menyelidiki. Karena buah penyelidikan mereka berlain-lain menurut kadar paham masing-masing dan menurut tempat dan zamannya. Tetapi berusahalah supaya diri sendiri menjadi penyelidik pula. Orang dahulu dapat memahamkan Al-Qur’an dengan mudah, tahu akan hadits dan hafal maksudnya, sedang mereka baru meretas jalan. Kononlah orang yang datang kemudian. Al-Qur’an telah tercetak, tidak tertulis dengan tangan lagi. Hadits telah tersiar, segala sunnah dan masanid-nya tidak berpisah-pisah lagi, dan paham ulama-ulama ikutan yang telah terdahulu, yang beribu-ribu banyaknya sudah dapat pula dijadikan suluh benderang dan perbandingan di dalam mencari maksud Al-Qur’an. Tentu lebih mudah orang sekarang memahamkan daripada orang dahulu. Kecuali kalau diikuti kefanatikan orang agama lain itu. Ulama-ulama mengatakan tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an kalau tidak lengkap alatnya. Maka hilangkanlah kata-kata tidak itu. Artinya, Al-Qur’an boleh ditafsirkan kalau cukup alatnya. Maka cukupkanlah alat itu.

(Buya HAMKA, TASAWUF MODERN: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 126-130, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).