JIBTI DAN THAGUT, LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID’AH TAHAYUL) TERKUTUK

THAGHUT

Mereka itulah ahli neraka. Mereka akan kekal padanya.” (al-Baqarah ujung ayat 257).

Yang memimpin langsung orang yang beriman ialah Allah.

Setan, sumber yang asli dari segala macam thaghut. Ini tersebut dalam surah Aali ‘Imraan: 175, tersebut juga dalam surah al-A’raaf: 30. Dengan demikian, di samping orang-orang Mukmin berusaha mengambil pimpinan dan bimbingan Allah, Setan pun berusaha memasukkan pimpinannya yang sesat kepada orang-orang yang memang sengaja mengelak dari pimpinan Allah.

Tauhid ialah untuk membebaskan jiwa manusia dari pengaruh thaghut itu. Karena, pengaruh thaghut menghilangkan nilai manusia pada diri seorang anak Adam, berganti dengan binatang yang patut dihalau ke hilir ke mudik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 517-519, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JIBTI DAN THAGUT

“Tidakkah engkau lihat kepada orang-orang yang telah diberi sebagian dari Kitab? Mereka mempercayai kesesatan dan sewenang-wenangan, dan mereka berkata darihal orang-orang yang kafir, ‘Mereka itu lebih betul jalannya daripada orang-orang yang beriman itu.'” Mereka itulah orang-orang yang mengutuk Allah akan mereka. Dan barangsiapa dikutuk oleh Allah, maka sekali-kali tidaklah akan engkau dapati pembantu baginya.” (an-Nisaa’: 51-52).

Setengah ulama tafsir menyatakan maksud jibti ialah sihir. Tetapi setelah digali ke dalam rumpun-rumpun bahasanya, bertemulah bahwa segala kepercayaan yang tahayul, dongeng, khurafat, yang tidak dapat diterima oleh akal yang wajar, itulah dia jibti.

Kita misalkan, terdengar elang berkelit tengah hari, lalu orang berkata, “Ada orang besar akan mati!” Atau terdengar ayam berkokok di waktu senja, orang berkata, “Ada anak gadis mengandung dengan tidak terang siapa suaminya.” Atau barang, seumpama keris. Dikatakan bahwa keris itu bertuah. Atau orang keluar dari rumah pagi-pagi hendak pergi bekerja. Di tengah jalan ada ular melintas jalan. Melihat itu dia kembali pulang karena menurut kepercayaannya akan bertemu bahaya kalau ditempuh juga. Atau kepercayaan manusia jadi harimau, orang jadi cindaku, atau palasik dan sebagainya.

Pada orang yang masih jauh dari peradaban, jibti sangat berpengaruh. Seumpama kepercayaan kalau ada orang sakit, bahwa dia sakit karena ditegur Setan atau karena termakan atau karena dituju orang dengan sihir dan sebagainya. Ini pun termasuk jibti. Atau aminisme, yaitu bahwa roh nenek moyang berpengaruh terhadap orang yang masih hidup, sebab itu diadakan pemujaan. Atau dinamisme, yaitu bahwa barang-barang yang ada, entah beringin, batu besar, puncak gunung, keris dan lain-lain, ada nyawanya. Atau di zaman kita ini ramalan bintang yang dimuat di surat-surat kabar, tentang melihat nasib, yaitu nasib seseorang karena melihat tanggal lahirnya. Itu pun jibti.

Kiaskanlah hal yang lain-lain, yaitu kepercayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan diuji kebenarannya menurut akal yang sehat. Itulah dia jibti.

Thagut berumpun dari kalimat thaagiyah kita artikan kesewenang-wenangan, melampaui batas, terkhusus kepada manusia yang telah lupa atau sengaja keluar dari batasnya sebagai insan, lalu mengambil hak Allah. Atau manusia dianggap Tuhan oleh yang mempercayainya. Segala pemujaan kepada manusia sampai mendudukkannya jadi Tuhan, meskipun tidak diucapkan dengan mulut, tetapi bertemu dengan perbuatan, termasuklah dalam arti thagut.

Ada ulama besar yang disegani, akhirnya dipandang keramat, lama-lama diikuti sehingga segala fatwanya wajib dipandang suci seperti firman Allah saja. Maka ulama itu telah menjadi thagut bagi yang mempercayainya. Apatah lagi setelah dia mati, kuburnya pula yang dipuja-puja, diziarahi untuk meminta wasilah, menjadi orang perantara akan menyampaikan keinginan-keinginan kepada Allah, menjadi thagut pulalah dia sesudah matinya.

Atau ada penguasa negeri yang berkuasa besar. Orang takut akan murkanya dan orang menghambakan diri kepadanya. Barangsiapa yang mencoba menyatakan pikiran, bebas menyatakan yang benar, ada bahaya akan dihukum, dipenjarakan, diasingkan, ditahan, dibuang atau dibunuh. Tetapi barangsiapa yang tunduk, taat setia, sudi mengorbankan kemerdekaan pikiran dan bersedia takut kepada yang berkuasa, bersedia jadi budak supaya bebas bergerak, bahkan kadang-kadang lebih takut daripada menakuti Allah, penguasa itu pun menjadi thagut.

Kadang-kadang bercampuraduklah di antara jibti dengan thagut, atau berpadu jadi satu. Di Mesir orang mengadakan Maulid Sayyid Badawi tiap-tiap tahun, berkumpul beribu-ribu manusia laki-laki dan perempuan ke kuburan beliau. Sebab beliau dipandang sangat keramat. Gadis tua minta suami kesana, perempuan mandul minta anak ke sana. Mahasiswa yang takut tidak lulus ujian pergi menuju ke sana. Di kuburan itu ada pula jibti-nya. yaitu ada serban beliau yang dipandang sangat membawa rezeki jika dapat dipegang.

Di tanah air kita pun banyak terdapat yang demikian. Kalau mau mempelajari campur aduknya jibti dengan thagut pergilah ziarah ke kubur sunan-sunan (Wali Songo) dan dengarkanlah dongeng-dongeng yang tidak masuk akal, kumpulan jibti dan thagut dari juru kunci.

Di dalam ayat ini diterangkanlah betapa sesatnya orang-orang yang telah diberi sebagian dari kitab. Kepercayaan Tauhid yang asli telah hilang, di dalam lipatan jibti (kesesatan) dan thagut (menuhankan makhluk). Kalau ditanyakan, engkau pertuhankan si anu? Niscaya mereka akan menjawab juga, “Tuhan kami Allah!” Tetapi kalau ditanya lagi, mengapa perkataan si anu, fatwa si anu, tafsiran si anu, kamu terima saja dengan tidak mempergunakan akal, padahal kadang-kadang berjauhan sangat dengan firman Allah yang disampaikan Nabi kamu? Mereka tidak dapat memberikan jawaban yang tepat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 323-324, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID’AH TAHAYUL) TERKUTUK

Mereka itulah orang-orang yang mengutuk Allah akan mereka. Dan barangsiapa dikutuk oleh Allah, maka sekali-kali tidaklah akan engkau dapati pembantu baginya.” (an-Nisaa’: 52).

Mencampur-aduk kebenaran agama dengan kesesatan, atau jibti. Sehingga dibangsakan kepada agama, hal-hal yang sama sekali ditolak oleh agama sehingga timbul Bid’ah, Khurafat, Tahayul.

Apakah kita telah mengubah-ubah pula sepeninggal Nabi Muhammad?

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 325, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

THAGUT

“Dan orang-orang yang menjauhi thagut bahwa akan menyembah kepadanya dan kembali kepada Allah, bagi mereka adalah berita gembira. Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku.” (az-Zumar: 17).

Telah banyak kali kita membicarakan, mengartikan dan menafsirkan tentang thagut. Kalimat ini kita jumpai 8 kali dalam Al-Qur’an. Kita jumpai mulanya ialah dalam surah al-Baqarah ayat 256 dan 257. Di ayat 256 dijelaskan bahwa apabila orang tidak percaya lagi kepada thagut dan telah mulai beriman kepada Allah, waktu itulah dia telah mulai memegang tali yang teguh yang tidak akan lepas-lepas lagi selama-lamanya. Di ayat 257 dikatakan bahwa orang yang beriman yang jadi wali-Nya, jadi pemimpin dan pelindungnya ialah Allah sendiri, yang membawanya dari tempat gelap gulita kepada padang yang terang bercahaya. Sebaliknya orang yang kafir, pemimpin dan pelindungnya ialah thagut. Thagut itu pemimpin mereka, keluar dari tempat yang terang benderang bercahaya akan dibawa ke tempat yang gelap gulita dan mereka jadi ahli neraka dan kekal di dalamnya.

Kemudian berjumpa pula tiga kali dalam surah an-Nisaa’ tiga kali. Yaitu ayat 51, 60 dan 76. Di dalam ayat 51 diterangkanlah tentang setengah orang yang mendapat bagian dari kitab, yaitu kitab Taurat atau Injil atau kitab nabi-nabi yang dahulu. Ada di kalangan mereka itu yang percaya kepada Jibti dan Thagut. Di ayat 61 diterangkan tentang orang yang dengan mulutnya mengakui beriman kepada Muhammad dan beriman juga kepada rasul-rasul yang sebelum Muhammad, tetapi mereka ingin meminta keputusan hukum kepada thagut itu. Di ayat 76 diterangkan dasar-dasar orang berjuang. Kalau orang yang beriman, dia berjuang ialah pada jalan Allah. Tetapi orang-orang yang kafir berjuangnya ialah pada jalan Thagut. Pada lanjutan ayat diperintahkan kepada orang yang beriman, hendaklah perangi wali-wali Setan itu. Pada ayat 60 dari surah al-Maa’idah diterangkan tentang orang yang akan mendapat ganjaran sangat buruk di sisi Allah, yaitu tentang orang-orang yang dikutuki oleh Allah dan Allah sangat murka kepadanya sehingga dijadikan setengah mereka menyerupai monyet-monyet dan babi-babi dan penyembah thagut.

Di dalam surah an-Nahl yang diturunkan di Mekah dijelaskan pokok utama tugas seorang Rasul jika dia diutus Allah kepada suatu umat, ialah supaya umat itu menyembah kepada Allah dan menjauhkan diri dari thagut.

Sekarang datanglah ayat 17 dari surah az-Zumar ini. Di sini kita bertemu lagi kata-kata thagut.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 20-21, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BUKAN ULAMA YAHUDI

Di sinilah terasa beratnya memikul tugas menjadi ulama dalam Islam.

Yakni di samping memperdalam pengetahuan tentang hakikat hukum, memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniru meneladani ulama pelopor zaman dahulu itu, sebagai Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain, yaitu keteguhan pribadi dan kekuatan IMAN, sehingga di dalam menegakkan hukum mereka itu tidak dapat dipengaruhi oleh harta benda, dan tidak sampai mereka mengubah-ubah makna dan maksud ayat, karena tenggang-menenggang atau ketakutan, walaupun untuk itu diri-diri beliau kerapkali menderita.

Itulah ulama Islam, bukan ulama Yahudi.

MENJADI MONYET

Jangan sampai peraturan Allah yang jelas dan terang dihelah-helah dan diputar-putar karena menginginkan keuntungan yang sedikit. Sebab, kalau demikian, kita pun akan disumpah Allah menjadi Monyet.

“Setelah orang-orang itu melanggar agama Allah dan yang mereka pegang bukan lagi hakikat agama, hanyalah pada kulit saja, bukan pada hakikatnya, dibalikkan Allah-lah rupa mereka menjadi Monyet. Serupa perangai mereka dengan Monyet padahal mereka Manusia. Suatu balasan yang sangat setimpal.” Sekian Ibnul Qayyim.

MENJADI KERA-KERA DAN BABI-BABI

Siksa yang mereka terima ialah jatuhnya martabat manusia jadi binatang.

Menjadi kera-kera dan babi-babi.

Yang asal perutnya kenyang, air pelimbahan pun mereka minum juga, barang najis pun mereka makan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 713, Jilid 3 Hal. 593, 586-587, Jilid 6 Hal. 673, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KERA-KERA DAN BABI-BABI DAN PENYEMBAH THAGUT

“Katakanlah, ‘Maukah aku beritakan kepada kamu, apa yang lebih jahat balasannya di sisi Allah dari yang demikian itu?’ Ialah orang-orang yang telah dilaknat oleh Allah dan murkalah Dia kepadanya, dan Dia jadikan mereka kera-kera dan babi-babi dan penyembah Thagut. Mereka inilah, orang-orang yang jahat tempatnya dan yang telah terlalu sesat dari kelurusan jalan.” (al-Maa’idah: 60).

Mereka dikutuk dilaknat menjadi monyet, menjadi babi dan menyembah Thagut, berhala atau manusia yang diberhalakan.

Mereka tidak mau menyembah Allah dengan betul, tetapi mereka hendak menyembah juga, akhirnya thagut-lah yang mereka sembah, yaitu segala tingkah laku yang melampaui batas.

HARDIKAN KERAS KEPADA ULAMA

“Sungguh buruklah apa yang telah mereka perbuat itu.” (al-Maa’idah ujung ayat 63).

Berkata, Habru Hadzihil Ummah (Gelar Ibnu Abbas: Pendeta umat ini), “Tidak terdapat dalam Al-Qur’an ayat yang sampai sekarang ini.” Artinya ayat ini adalah satu hardikan keras kepada ulama, apabila mereka telah lalai memberi bimbingan dan petunjuk dan tidak lagi menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana kata Ibnu Abbas dan Hudzaifah yang pernah kita salinkan dahulu dari ini, janganlah kita seenaknya saja melemparkan segala yang pahit-pahit untuk Bani Israil dan yang manis-manis saja buat kita.

Ayat ini adalah peringatan bahwasanya keruntuhan akhlak umat, sebagian besar terpikul tanggung jawabnya ke atas pundak ulama.

Umat salah berbuat dosa karena bodohnya, namanya saja pun orang awam. Tetapi ulama berdiam diri adalah lebih salah, karena mereka tahu.

Sebab itu di ayat 62 diterangkan bahwa amat jahatlah pekerjaan orang-orang awam itu, sedang di ayat 63, diterangkan bahwa amat jahat pulalah apa yang telah diperbuat oleh pendeta dan orang alim mereka! Apa saja yang mereka kerjakan?

Maka dapatlah kita memahamkan bahwa ulama itu di dalam Islam bukanlah semata-mata berarti orang pandai, orang alim atau sarjana, melainkan merangkap juga menjadi pemimpin ruhani orang banyak.

Ulama-ulama Yahudi menghafal ayat Taurat, karena membangkang memegang hukum, tetapi kalau hukum akan mengenai orang besar-besar, mereka segan.

Padahal, apakah tidak mungkin perangai ini pun menimpa kepada ulama Islam sendiri? Berapa banyak ulama yang tekun menghafal Al-Qur’an, Hadits, fiqih dan sebagainya, tetapi mereka tidak mau turun ke bawah, kepada orang awam buat memimpin ruhani mereka dan akhlak mereka. Oleh Imam Ghazali, ulama-ulama yang tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, diberi cap Ulama Su’, ulama jahat. Karena kalau mereka mengaku waratsatul anbiya, menerima waris Nabi, tidaklah boleh mereka menyia-nyiakan waris itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 736-738, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).