BUYA HAMKA TENTANG MALU MENCABUT FATWA

KLIK DISINI: MENUHANKAN GURU (BID’AH) DAN MUBAHALAH

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa Allah kehendaki untuk menjadi baik, maka Allah akan pahamkan ia dalam masalah agama. Dan senantiasa ada sekelompok dari kaum Muslimin yang memperjuangkan kebenaran dan selalu menang atas orang yang memusuhinya sampai hari Kiamat.” (HR. Muslim).

“Dan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian berdua dustakan?” (ar-Rahmaan: 13).

DUSTA ATAS NAMA ALLAH

“Dan apakah sangkaan orang-orang yang telah mengada-adakan suatu dusta atas nama Allah pada hari Kiamat? Sesungguhnya Allah mempunyai karunia atas manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak berterima kasih.” (Yuunus: 60).

Bahwasanya sangatlah besar dosanya manusia mengada-adakan peraturan sendiri, terutama mengharamkan sesuatu yang tidak ada nash yang jelas daripada Allah tentang haramnya.

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Dengan ayat ini Allah sangat mengingkari atas orang yang mengharamkan barang yang dihalalkan Allah atau yang menghalalkan barang yang diharamkan Allah, hanya semata-mata dengan pendapat sendiri dan hawa nafsu dengan tidak ada tempat sandaran dan tidak ada dalil.”

Mengharamkan sesuatu hendaklah dengan nash yang qath’i.

Al-Imam Abu Yusuf menjelaskan bahwa tidak ada ulama yang berani mengatakan sesuatu adalah haram, melainkan bila ada keterangannya dari Kitab Allah, dengan tidak dapat lagi ditafsirkan pada yang lain.

MUSYRIK

Oleh karena itu, ketentuan syara’ atau tasyri’ tentang haram dan halal keagamaan hanyalah semata-mata hak Allah Ta’aala. Kalau kita terima lagi peraturan haram dan halal dari yang lain, mulailah kita menjadi musyrik. Dan orang-orang yang mengakui ulama yang lancang mengeluarkan fatwa memutuskan sesuatu adalah haram, adalah lancang pula untuk masuk Neraka. Di dalam surah an-Nahl, ayat 116, akan bertemu lagi peringatan Allah, supaya kamu jangan mengatakan terhadap apa yang disifatkan oleh lidah kamu yang dusta, bahwa ini halal dan ini haram, karena hendak mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Agama yang begitu lapang, janganlah dipersempit dengan lidah orang yang lancang.

Datanglah ayat ini sebagai suatu pertanyaan, yang mengandung ancaman keras, bagaimanakah persangkaan orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah? Berani-berani saja membuat hukum haram hanya dengan ijtihad atau main qias-qiasan, padahal Allah tidak menurunkan agama dengan sempit?

Di dalam surah al-Baqarah ayat 29 dengan tegas Allah mengatakan bahwa seluruh isi bumi adalah dijadikan untuk kamu, semuanya. Kalau dikatakan semuanya, artinya tidak ada batas. Dan kalau ada batas, maka batas itu wajib datang dari Allah sendiri, atau dari Rasul-Nya sebagai penafsiran dari ketentuan Allah.

Adapun ijtihad ulama terbatas ruang dan waktu. Berubah ruang dan berubah waktu, bisa mengubah pula kepada hukum yang timbul dari ijtihad ulama tadi. Adapun hukum haram dan halal dari Allah, tetaplah mutlak kita taati.

PERKARA MEMAKAI DASI

Pada kira-kira Tahun 1910, ributlah ulama-ulama di Padang, tentang perkara memakai dasi.

Ulama Kaum Muda mengatakan halal, tetapi Ulama Kaum Tua mengatakan haram, dengan mengemukakan alasan hadits,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia pun terhitung jadi kaum itu.”

Tegasnya, oleh karena dasi adalah pakaian kafir Belanda, maka barangsiapa orang Islam memakai dasi, menjadilah dia kafir seperti Belanda.

Begitu cara mereka memahamkan.

Akhirnya apa yang kejadian? Memakai dasi menjadi merata, padahal yang memakainya itu tetap orang Islam juga. Sebab fatwa haram Kaum Tua tadi, timbul daripada pengaruh ruang dan waktu. Padahal dalam Al-Qur’an atau hadits tidak ada larangan memakai dasi, pada zaman Rasul saw. tidak atau belum ada dasi. Dan hadits perkara menyerupai (tasyabbuh) dengan suatu kaum tadi, tetap dalam peringatannya yang tinggi dan tujuannya bukan kepada dasi.

Maka bernazamlah Ayah dan Guru saya kala itu:

Tercengang aku di kaum kuna, memakai cepiau dipandangnya hina.

Meniru kafir seperti Cina, penangkis panas itulah guna ….

Sebab itu, di ujung ayat yang tengah kita tafsirkan ini, kita mendapat inti ajaran Allah yang sangat membuka lapang perjuangan hidup bagi kita sebagai Muslim. Amat banyak karunia Allah kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak pandai berterima kasih, sebab kesempitan pahamnya.

Adapun orang-orang yang berterima kasih, yang dadanya telah dipenuhi cahaya iman, diambilnyalah kesempatan menampung karunia Allah Maha Luas itu, disertai rahmat-Nya, dan hidayah pun memenuhi dadanya buat mengetahui mana pekerjaan yang diridhai Allah dan mana yang tidak diridhai-Nya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 440-442, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KARUNIA TUHANMU

“Dan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian berdua dustakan?” (ar-Rahmaan: 13).

Inilah pertanyaan yang jadi inti dari surah ini. Setelah Allah menyebutkan bagaimana luas lebarnya rahman Ilahi yang meliputi seluruh alam ini, sehingga manusia bisa tenteram hidup di atasnya, datanglah pertanyaan ini.

Hai seluruh manusia dan jin! Tenggelam kamu dalam nikmat dan rahmat, dalam rahman dan rahim Allah, adakah kamu hidup yang disia-siakan? Tersebutlah di dalam suatu tafsir diterima daripada Ibnu Abbas, bahwasanya makhluk Allah bangsa jin itu setelah membaca atau mendengar ayat 13 ini dan yang sampai 31 kali diulang-ulang dalam surah ini, makhluk Allah yang bernama jin itulah yang menyambutnya dengan segala kerendahan hati, demikian sambutannya, “Ya Tuhanku! Tidak ada sesuatu pun dari Karunia Engkau, Ya Rabbana, yang dapat kami dustakan.”

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 601, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HARAM DAN HALAL

“Katakanlah: ‘Bagaimana pendapatmu tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepada kamu dari anugerah-Nya lalu kamu jadikan di antaranya itu haram dan halal?’ Katakanlah: ‘Apakah Allah yang telah mengizinkan kepada kamu, atau adakah atas Allah kamu mengada-ada?'” (Yuunus: 59).

Allah telah menurunkan karunia-Nya kepada kamu, sekarang kamu bikin-bikin dan kamu ada-adakan peraturan, mengatakan ini haram ini halal. “Katakanlah: ‘Apakah Allah yang telah mengizinkan kepada kamu.'” Menentukan ini haram dan itu halal? Kalau Allah yang menentukan itu, adakah itu syari’at yang kamu terima dari seorang Rasulullah saw. sebelum Muhammad saw.? Kalau ada, mana kitabnya? Mana ayatnya? Bagaimana bunyinya?

“Atau adakah atas Allah kamu mengada-ada?” (ujung ayat 59).

Yaitu kamu karang-karangkan sendiri suatu peraturan, lalu kamu katakan bahwa itu adalah aturan dari Allah?

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 439, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MALU MENCABUT FATWA

Dan janganlah kamu ucapkan bagi barang yang disifatkan oleh lidahmu yang dusta, ‘Ini halal, ini haram’ karena hendak mengada-adakan dusta atas nama Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan dusta atas nama Allah, tidaklah akan berbahagia. (Hanya) perhiasan yang sedikit dan untuk mereka adalah adzab yang besar.” (an-Nahl: 116-117).

Di ayat yang sebelumnya sudah dijelaskan mana-mana makanan yang haram dimakan. Tetapi orang-orang musyrikin Mekah menambah lagi beberapa binatang ternak yang mereka haramkan sendiri, sebagaimana telah disebutkan di dalam surah al-An’aam yang diturunkan di Mekah juga. Sebagaimana disebutkan misalnya di ayat 138, mereka ada menentukan kebun larangan, binatang larangan dan pula binatang ternak yang mereka haramkan menungganginya dan di ayat 139 ada disebutkan bahwa mereka membuat pula peraturan bahwa binatang yang masih dalam kandungan telah ditentukan hanya laki-laki yang boleh memakannya, sedang perempuan tidak boleh. Dan berbagai larangan yang lain, mereka bikin-bikin. Apatah lagi ada pula binatang yang disembelih untuk Allah dan ada yang disembelih untuk berhala. Yang disembelih untuk Allah sampai juga kepada berhala, tetapi yang disembelih untuk berhala, tidak sampai kepada Allah (ayat 136).

Peraturan halal haram cara jahiliyyah itu tidak dianggap sah dan orang-orang yang telah beriman tidak dapat menuruti, sebab peraturan itu adalah buatan mereka sendiri. Mereka adakan peraturan sendiri, lalu mereka katakan bahwa itu adalah peraturan dari Allah. Mereka mengada-adakan di atas nama Allah, perkara yang Allah tidak pernah memerintahkan. Lantaran itu tidaklah mereka akan beroleh bahagia satu kejayaan atas kemenangan. Kalaupun ada kelihatan pada zahirnya mereka bahagia.

Sebab peraturan yang mereka perbuat itu tidaklah beralasan atas kebenaran. Itu hanya timbul dari lidah yang penuh dusta. Oleh karena hanya peraturan manusia, tidaklah dia kekal dan tidak ada pengaruhnya.

Setelah direnungkan bunyi ayat, nyatalah bahwa yang kena bukan orang musyrikin saja.

Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya, “Termasuk juga ke dalam ayat ini orang-orang yang membuat-buat bid’ah baru, yang tidak ada sandarannya dari syara’, atau menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah, atau mengharamkan apa yang telah dilapangkan oleh Allah, hanya semata-mata karena menurut pikirannya (ra’yi-nya) saja!

Ibnu Abi Hatim mengeluarkan suatu riwayat dari Abu Nadhrah, berkata beliau ini, “Saya baca ayat ini di dalam surah an-Nahl. Sejak membaca ayat ini senantiasalah saya merasa takut akan mengeluarkan fatwa, sampai kepada hari ini.

Pengarang Tafsir Fathul Bayan menulis, “Benarlah apa yang beliau katakan itu, moga-moga rahmat Allah atas beliau. Sesungguhnya ayat ini dengan umum lafazhnya meliputi juga akan segala fatwa yang difatwakan berlawanan dengan kitab Allah atau sunnah rasul-Nya, sebagaimana banyak kejadian pada orang-orang yang lebih mementingkan pendapat sendiri (ra’yi) daripada mengemukakan riwayat, atau orang yang jahil, tidak ada pengetahuannya tentang al-Kitab dan as-Sunnah.”

Ath-Thabarani mengeluarkan riwayat dari Ibnu Mas’ud, bahwa beliau berkata, “Mungkin ada seseorang berkata, Allah memerintahkan begitu, Allah melarang begini, lalu Allah berfirman, ‘Engkau pendusta.’ Atau orang itu berkata: Allah mengharamkan itu, Allah menghalalkan ini. Lalu Allah berfirman, ‘Engkau adalah pembohong.’

Berkata Ibnul Arabi, “Imam Malik dan suatu kaum tidak senang mendengar kalau ada seorang Mufti mengeluarkan fatwa ini halal, itu haram dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Baru boleh menyebut hukum setegas itu kalau telah bertemu nash yang tegas. Dalam masalah-masalah ijtihadiyah, hanyalah dikatakan, Inni akrahu kadza wa kadza! (Saya tidak senang yang begini, atau tidak senang yang begitu).

Imam Syafi’i di dalam kedua kitabnya yang terkenal, yaitu al-Umm dan ar-Risalah pun tidaklah dengan semaunya saja mengeluarkan hukum haram atau halal. Setinggi-tinggi perkataan beliau hanyalah Yukrahu (tidak disukai), atau beliau kemukakan pendapat sendiri dengan menyebut Karihtu (saya tidak suka), atau Akrahu (saya tidak senang atau saya benci). Setelah membaca, pahamlah orang bahwa pendapat beliau condong kepada haram.

Sedang ulama-ulama besar yang dianggap sebagai sarjana pelopor dalam perkembangan ilmu fiqih dan ushul fiqih, ulama yang dijadikan ikutan oleh umat, bila mengenai masalah ijtihadiyah telah demikian sikap beliau-beliau, maka bagaimana lagi seharusnya sikap ulama-ulama terakhir yang tenggelam dalam taklid, asal mereka melihat hal yang mereka tidak sukai, terloncat sekali dari mulut beliau hukum haram, kafir, zindiq dan sebagainya, padahal masalah belum beliau pelajari secara mendalam, atau tidak sanggup menyelidikinya. Kemudian setelah nyata terlanjur, malu pula akan surut ke dalam kebenaran, malu mencabut fatwa. Inilah yang disebut:

“Yang seberani-berani kamu berfatwa, ialah yang seberani-berani kamu masuk Neraka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 228-229, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AYAHKU

AL-IMAM adalah musuh yang amat bengis bagi sekalian bid’ah dan khurafat dan ikut-ikutan dan adat yang dimasukkan orang pada agama.

Ketika mereka dituduh kafir lantaran memfatwakan bahawa cepiau, seluar panjang dan dasi tidaklah menyerupai kafir, maka timbullah nekad mereka. Dalam sebentar waktu sahaja, dengan seluar panjang, dasi dan cepiau! Topi Panama! Bertahun-tahun lamanya Syeikh Abdullah Ahmad dan Syeikh Abdul Karim Amrullah memakai dasi dan seluar panjang, dengan di kepalanya memakai tarbus, bahkan kadang-kadang cepiau! Mahu apa? Siapa mahu menentang? Siapa mahu mengaji?

Syeikh Jambek luar biasa pula, beliau membeli sepeda motor, kemudian ditukarnya dengan kereta (mobil, -pen) dan dikendalikannya sendiri. Di bahunya tersandang bedil, untuk berburu. Mahu apa? Siapa mahu lawan? Siapa mahu debat?

Beliau tidaklah sampai tahu benar, bahawa menjalarnya Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H.A. Dahlan, sahabatnya itu, akan membawa hasil begini jadinya setelah beliau wafat.

(Buya HAMKA, Ayahku, 144, 155, 461, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

GOLONGAN TUA DAN GOLONGAN MUDA

Golongan Muda menjelma jadi Muhammadiyah pada 1912, sedangkan Golongan Tua menjelma menjadi Nahdhatul Ulama pada 1925.

Di dalam Abad ke-19, Kerajaan Turki menyuruh Mohammad Ali Pasya penguasa Negeri Mesir memerangi penganut paham Wahabi di Tanah Arab. Untuk ini, dibuat propaganda di seluruh dunia Islam, bahwa Wahabi itu telah keluar dari garis Islam yang benar, sehingga sisa dakinya sampai sekarang masih bersarang dalam otak Golongan Tua dalam Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 503-504, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

CAHAYA ALLAH

“… Dan dengan kitab yang bercahaya.” (Faathir: 25).

Dari ayat 19 sampai ayat 26 kita mendapat kesan yang mendalam sekali tentang perbedaan di antara kufur dan iman.

Kufur adalah suatu kebutaan, suatu kegelapan, suatu kegelisahan laksana terbakar oleh kepanasan, dan kufur adalah maut.

Sedang iman ialah suatu mata yang nyalang, suatu sinar cahaya yang menembus dan suatu perhentian yang nyaman dalam perjalanan yang jauh.

Iman adalah cahaya, cahaya pada hati dan cahaya pada seluruh tubuh dan cahaya pada pancaindra kelimanya. Cahaya yang dapat menembus kegelapan yang selama ini menyelubungi di mana letak kebenaran.

Seorang yang beriman melihat sesuatu dengan cahaya ini.

Itulah cahaya Allah.

Imam Malik mula bertemu dengan murid barunya, yang kelak akan menggantikan kebesarannya, yaitu Imam Syafi’i, belum beberapa jenak duduk berhadapan, telah berkata kepada murid itu, “Aku lihat pada hatimu ada cahaya, maka janganlah engkau padamkannya dengan melakukan maksiat.” Imam Waki pun mengatakan seperti itu pula kepada Syafi’i, “Jangan kau kotori dirimu dengan dosa, aku takut cahaya itu hilang.”

Ini adalah firasat ulama tentang cahaya itu, “Cahaya Allah.”

Dengan cahaya itu seorang yang beriman melihat, sehingga terang yang keluar dari dalam matanya berlipat ganda dua kali, yaitu cahaya yang telah diberikan Allah bagi tiap pribadi sejak lahir, yang kita semuanya mempunyainya. Lalu disinari lagi penglihatan mata itu dengan cahaya iman, percikan dari cahaya Allah.

Iman membuat orang merasa nyaman dan tenteram, sedang kufur adalah membuat panas selalu, gerah menurut kata orang Jakarta asli, gelisah terus, tidak dapat bertambah diam, sebab percikan neraka telah ada dalam hati. “Az-Zhillu” atau perlindungan adalah laksana berteduh di bawah pokok kayu yang sangat rindang dan angin sepoi berembus, yang dengan dia kita mendapat kekuatan baru untuk meneruskan perjalanan ini. Perlindungan dari rasa ragu, rasa takut, rasa putus asa, rasa bingung dan rasa kehilangan tempat bergantung. Apatah lagi rasa hampa karena kehilangan tujuan.

Iman adalah hidup yang sejati. Hidup hati, hidup perasaan. Hidup tujuan dan hidup arah. Sebaliknya adalah kufur, kufur adalah buta, meresek-resek, meraba-raba, tidak bertemu juga yang dicari. Iman adalah hakikat dari hidup itu sendiri. Tak ada iman, hidup kehilangan harga. Iman hidup buat membangun. Iman hidup buat menanam. Iman hidup buat memetik buah. Tak pernah layu tak pernah patah semangat. Tidak ada kesia-siaan dan tidak pernah kehilangan arah.

Kufur adalah buta, buta hati, buta mata, walaupun masih melihat. Buta untuk memerhatikan dan menilai perbandingan yang hak dengan yang batil. Buta dari melihat hakikat yang ada, hakikat persambungan di antara satu dengan yang lain, di antara aku dengan alam dan alam dengan hidup dan kumpulan ketiganya apa hubungannya dengan Maha Pencipta. Buta untuk menilai manusia. Sehingga kerapkali manusia yang dihargainya ialah karena dia pandai mengumpulkan harta, rumah bagus, mobil mahal dan uangnya banyak, walaupun imannya kosong. Maka buta yang seperti ini membuat orang kian lama kian dikerumuni oleh persoalan yang laksana benang kusut, tambah diselesaikan bertambah kusut. Darah selalu berdebar, harapan selalu gelap, jalan ke depan selalu buntu, harta pun sampai menutup mata, senantiasa dalam kebingungan. Sekali lagi, kufur adalah mati perasaan, putus hubungan dengan sumber hidup yang sejati, terpisah jauh dari jalan raya yang akan menyampaikan ke tujuan.

ULAMA

“… Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu …” (Faathir: 28).

Tentang ulama atau orang-orang yang berpengetahuan, Ibnu Katsir telah menafsirkan, “Tidak lain orang yang akan merasa takut kepada Allah itu hanyalah ulama yang telah mencapai makrifat, yaitu mengenal Allah SWT menilik hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, yang mempunyai sekalian sifat kesempurnaan dan yang empunya Asmaul Husna (nama-nama yang indah). Apabila makrifat bertambah sempurna dan ilmu terhadap-Nya bertambah matang, ketakutan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak.”

Ibnu Abbas mengatakan, “Alim sejati di antara hamba Arrahman ialah yang tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan yang halal tetap halal dan yang haram tetap haram, serta memelihara perintah-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan Dia, lalu selalu menilik dan menghitung amalnya sendiri.”

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bukanlah seorang dikatakan alim karena dia banyak hafal hadits. Alim sejati ialah yang banyak khasyyah atau takutnya kepada Allah SWT.”

Imam Malik berkata, “Ilmu bukanlah karena banyak menghafal riwayat hadits, bahkan ilmu adalah Nur yang dinyalakan Allah SWT dalam hati.”

Suatu riwayat yang dibawakan dari Sufyan Tsauri, “Ulama itu tiga macam, (1) Alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah (2) Alim yang mengenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah dan (3) Alim yang mengenal perintah tetapi tidak mengenal Allah.”

Adapun Alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, ialah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batas dan perintah serta larangan.

Alim yang mengenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah ialah yang takut kepada Allah tetapi tidak melaksanakan perintah karena tidak tahu.

Alim yang mengenal perintah Allah tetapi tidak mengenal Allah ialah yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.

Kita dapat mengatakan bahwa yang nomor tiga inilah yang banyak sekarang, sehingga Nur atau cahaya itu dicabut Allah SWT dari dirinya, sehingga pengetahuannya dari hal halal dan haram, hanyalah laksana pengetahuan seorang pokrol bambu yang dapat memutar-mutar ayat bagaimana yang akan senang hati orang yang menanyakan.

ULAH SERBAN BESAR

Dengan demikian jelas pula bahwa ulama bukanlah sempit hanya sekadar orang yang tahu hukum-hukum agama secara terbatas, dan bukan orang yang hanya mengaji kitab fiqih, dan bukan pula ditentukan oleh jubah dan serban besar. Malahan kadang-kadang dalam perjalanan sejarah telah kerapkali agama terancam bahaya karena ulah serban besar.

Teringatlah kita akan ucapan Syekh Muhammad Abduh ketika dekat-dekat ajalnya,

“Aku beri ingat, jangan agama dirusakkan oleh pengaruh serban.”

Yang beliau maksudkan ialah orang-orang yang disebut golongan ulama karena pengetahuannya yang sangat terbatas tentang kitab-kitab agama, tetapi pahamnya sangat sempit, tidak dapat mempertimbangkan soal-soal yang di luar dari jangkauan pikirannya. Kadang-kadang dia sendiri tidak insaf akan kekurangannya, tidak pula pandai membatasi diri, sehingga banyaklah yang Bid’ah dijadikannya Sunnah, yang Khurafat dijadikannya agama, dan serta-merta menuduh orang kafir kalau tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Atau bertengkar dalam soal-soal khilafiyah yang berkecil-kecil, seakan-akan itu sajalah yang ilmu, dan pihak dia sajalah yang benar.

Nabi mengatakan,

“Ulama-ulama adalah pewaris dari nabi-nabi.”

Padahal orang-orang yang seperti demikian tidaklah sanggup menerima yang pahit dari pewarisan itu. Sehingga keulamaan sudah menjadi salah satu feodalisme religi dalam kalangan umat, yang tidak ada didapati yang demikian itu sejak semula.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 368-374, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AL-QUR’AN: LAFAZH DAN MAKNA

Penafsiran pertama hendaklah diambil dari sumber Sunnah Rasulullah saw., kedua dari penafsiran sahabat-sahabat Rasulullah saw., dan ketiga dari penafsiran tabi’in.

PENDEKNYA yang berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain. Sebab, tafsiran yang lain bisa membawa bid’ah dalam agama.

Baik golongan Ibnu Taimiyah maupun golongan Imam Ghazali atau jalan lapang yang diberikan oleh al-Qisthallani, pendapat mereka sama bahwa menafsirkan Al-Qur’an menurut hawa nafsu sendiri atau mengambil satu-satu ayat untuk menguatkan satu pendirian yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah terlarang (haram); penafsiran seperti ini adalah tafsiran yang curang. Yang kedua ialah segera saja, dengan tidak menyelidiki terlebih dahulu, menafsirkan Al-Qur’an, karena memahamkan zahir maksud ayat, dengan tidak terlebih dahulu memperhatikan pendapat dan penafsiran orang yang dahulu. Dan, tidak memperhatikan ‘uruf (kebiasaan) yang telah berlaku terhadap pemakaian tiap-tiap kata (lafazh) dalam Al-Qur’an itu. Dan, tidak mengetahui uslub (gaya) bahasa dan jalan susunan. Hal yang semacam inilah yang dinamai berani-berani saja memakai pendapat sendiri (ra’yi) dengan tidak memakai dasar. Inilah yang dinamai tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan.

PENDEKNYA, betapapun keahlian kita memahami arti dari tiap-tiap kalimat Al-Qur’an kalau kita hendak jujur beragama, tidak dapat tidak, kita mesti memperhatikan bagaimana pendapat ulama-ulama yang terdahulu, terutama Sunnah Rasul, pendapat sahabat-sahabat Rasulullah, dan tabi’in, serta ulama ikutan kita. Itulah yang dinamakan riwayah, terutama berkenaan dengan ayat-ayat yang mengenai hukum-hukum. Dalam hal lain tadi, akal dan luasnya penyelidikan kita dalam berbagai ilmu adalah amat penting dan perlu dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dengan syarat asal saja, akal itu jangan sampai menyeleweng dari Nur yang telah diterangkan oleh syari’at!

Maka, agar menafsir dengan akal dapat diterima, hendaklah kita isi empat syarat berikut:

1. Mengetahui bahasa Arab, dengan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan, supaya dapat mencapai makna dengan sejelas-jelasnya.

2. Jangan menyalahi dasar yang diterima dari Nabi Muhammad saw.

3. Jangan berkeras urat leher mempertahankan satu Madzhab pendirian, lalu dibelok-belokkan maksud ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan Madzhab yang dipertahankan itu.

4. Niscaya ahli pula dalam bahasa tempat dia ditafsirkan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma Hal. 23-36, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

“Jujurlah, walaupun kejujuran itu akan membunuhmu.”

Sekian fatwa Sayidina Umar bin Khaththab.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Hal. 387, Republika Penerbit, Cet.IV, 2016).

Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di Neraka.” Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. (HR. Tirmidzi).

PUNCAK KEZALIMAN YANG TIDAK DAPAT DIMAAFKAN

Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat kedustaan atas nama Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya?” (al-A’raaf: 37).

Keduanya ini adalah puncak-puncak kezaliman yang tidak dapat dimaafkan.

TIDAK MUNGKIN MEREKA MASUK SURGA

“… Tidaklah mereka akan masuk ke dalam surga … Untuk mereka dari Jahannam adalah satu tempat yang sangat rendah dan di atas mereka ada beberapa penutup. Dan, sebagai demikianlah Kami membalas orang-orang yang zalim.” (al-A’raaf: 40-41).

PERINGATAN BAGI MANUSIA agar jangan mereka sangka mudah-mudah saja masuk surga, setelah pokok kepercayaan kepada Allah itu yang telah dirusakkan dan puncak kezaliman yang telah ditempuh.

KEKAL DI NERAKA JAHANNAM

Ibnu Mas’ud berkata, “Orang yang diadzab kekal di Neraka Jahannam itu dimasukkan ke dalam peti dari api. Peti itu dalam peti lagi, hingga berlapis, lalu dipaku di luarnya, sehingga suatu pun tidak ada yang mendengar. Dan siapa-siapa yang telah dimasukkan ke dalam peti berlapis itu tidaklah melihat orang lain yang sama diadzab, sebab ia di dalam peti sendiri-sendiri.”

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 415-419, Jilid 6 Hal. 86, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

NYAWA BERJANJI DENGAN ALLAH

Berkata Allah, ‘Aku telah menjadikan hamba-hamba-Ku itu dalam keadaan hanif maka datanglah Setan-setan, merekalah yang membelokkan mereka dari agama mereka dan mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan bagi mereka.'” (HR. Muslim).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 596, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HAKIKAT ISLAM

“Sesungguhnya, yang agama di sisi Allah ialah Islam. Akan tetapi, tidaklah berselisih orang-orang yang diberi Kitab itu melainkan sesudah didatangkan kepada mereka ilmu, lantaran pelanggaran batas di antara mereka. Dan, barangsiapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah adalah amat cepat perhitungan-Nya.” (Aali ‘Imraan: 19).

Timbul silang sengketa sesudah mereka mendapat ilmu yang nyata tentang hakikat agama, ialah setelah ada baghyan, artinya pelanggaran batas. Yaitu pemuka agama telah melampaui batas mereka. Mereka telah menguasai agama dan memutuskan tidak boleh berpikir lain dari apa yang mereka putuskan. Kalau mereka berkuasa, mereka tidak segan bertindak kejam kepada orang yang dipandang sesat walaupun dengan memberikan hukuman yang sengeri-ngerinya sekalipun.

Apabila orang telah melampaui batasnya, manusia hendak mengambil hak Tuhan, perpecahan itu pulalah yang akan terjadi. Dalam Islam telah timbul sebagai madzhab, seumpama Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dan Ahlus Sunnah. Sejarah 14 abad bukan sedikit, menumpahkan darah sesama Muslimin karena perlainan madzhab.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 599, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEBERANIAN BUDI

Keberanian budi, ialah berani menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri kebenarannya, walaupun akan dibenci orang. Di dalam syara’ agama Islam pekerti yang demikian namanya “amar bil makruf, nahyi anil munkar”, menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat jahat.

Dalam masyarakat perlu ada orang-orang yang berani menyatakan perkara-perkara yang dipandangnya benar. Baik dengan sikap menyerang. Misalnya menyatakan kesalahan perkara-perkara yang telah terbiasa dipakai orang, telah teradat, padahal tidak cocok lagi dengan zaman. Atau sikap menangkis. Yaitu kelihatan suatu hal yang bersalahan dengan kebenaran, dilakukan atau diucapkan orang lain, padahal tidak ada orang yang berani membantah, lalu kita bantah dengan alasan yang cukup.

Tidaklah suatu bangsa akan tegak, dan suatu paham dapat berdiri, kalau di antara bangsa itu sendiri tidak ada yang berani menyatakan kebenaran. Sebab tiap-tiap bangsa amat segan mengubah yang lama. Dia hendak tetap pada yang lama, padahal kadang-kadang tidak cocok dengan zamannya lagi. Kalau ada suara baru mengeritik yang lama itu, tentu akan mendapat sambutan yang sengit dari si cap lama. Orang akan ribut. Tetapi yang berani menyatakan kebenaran itu mesti tahan. Karena di dalam menjatuhkan suatu benteng, orang yang tegak di barisan pertama harus kena peluru, dan kadang-kadang jatuh mati. Tetapi kelak serdadu barisan belakang akan berjalan terus di atas bangkai orang-orang yang di barisan muka tadi. Maju terus, menyerang terus, sampai peluru musuh habis. Kemenangan di dapat dari perjuangan.

Demikianlah orang yang berani menyatakan paham baru. Orang itu memang selalu datang mendahului zamannya. Orang-orang yang sama hidup dengan dia belum kenal akan dia. Kelak mereka akan takluk juga. Sekurang-kurangnya orang marah karena kritiknya, tetapi dengan diam-diam orang turuti apa yang dikatakannya.

Rahasia kemajuan negeri-negeri Barat ialah keberanian orang-orang yang terkemuka menyatakan pikiran dan pendapat. Beratus tahun lamanya benua Eropa karam di dalam khayal dan angan-angan. Tertutup pintu dan ilmu yang sejati. Penyelidikan hanya terpegang di tangan kepala-kepala agama. Tiba-tiba menggeliatlah kebenaran, keluar dari pasungnya, bahwasanya ilmu itu bukanlah kepunyaan gereja saja, tetapi kepunyaan segala orang. Berpuluh tahun lamanya orang-orang yang menyatakan pendapat baru itu dipasung, dihina, dimaki, dibunuh, direjam dan dibuang. Tetapi mereka kerja terus, jatuh satu tegak yang lain, sehingga akhirnya kedaulatan ilmu pun tegaklah. Kebenaran teguh di atas sendinya, tidak dapat digoncangkan lagi.

Adapun agama Islam sejak dia dilahirkan adalah membela dan menegakkan kebenaran yang tulen, kebenaran yang tidak bercampur sedikit juga dengan keraguan. Setiap penganut Islam, wajib menyuruh berbuat baik mencegah yang munkar, sehingga berabad-abad lamanya Islam menjadi guru dunia. Seruan Islam-lah yang membangunkan Eropa dari kungkungan pendeta-pendeta yang menghambat-hambat kebenaran itu.

Kemudian musim beralih, zaman bertukar. Keberanian menyatakan kebenaran, menyatakan ilmu pengetahuan pindah ke Eropa dan penyakit benua Eropa pindah ke negeri Islam. Ilmu yang tinggi-tinggi terhenti jalannya. Dahulu ulama Islam mencari kebenaran. Mereka ahli tafsir, ahli fiqih, filsuf, sufi. Mereka yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang di langit. Kemudian itu yang bernama ulama telah terlingkung dalam perkara tahu istinjak, tahu bersuci. Ilmu dunia dikutuki, kebenaran dan penyelidikan yang baru dibenci, dikutuk, dikatakan menghalang dan menghilangkan Islam.

Maka bangunlah kaum Muslimin kembali sejak timbul keberanian Sayid Jamaluddin al-Afghani, dan muridnya Syaikh Muhammad Abduh, dan muridnya pula Sayid Muhammad Rasyid Ridha, dengan berani berterus-terang menyatakan kebenaran. Mula-mula mereka dikutuk, tetapi dengan diam-diam segala pelajaran mereka diikuti juga. Di Indonesia muncul H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul (H. Abdulkarim Amrullah), serta kawan-kawannya di Minangkabau dan Kiai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya di Yogyakarta. Mereka dibenci, dihalangi, dikatakan sesat. Tetapi dengan diam-diam mereka diikuti juga. Pelajarannya dituruti. K.H.A. Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Orang kutuki Muhammadiyah dan orang halangi dan dituduh merusak agama. Tetapi dengan diam-diam orang menirunya dengan mendirikan sekolah, bahkan beratus-ratus perkumpulan, yang jalannya sama, bekasnya sama, tujuannya tidak berapa berbeda, meskipun namanya yang bukan Muhammadiyah.

Muhammadiyah telah menempuh korban yang selalu ditemui oleh setiap pembuka jalan; mulanya dibenci akhirnya dituruti jejaknya.

Di zaman sekarang, terutama dalam dunia Islam, dan terutama pula di tanah air kita yang masih serba kekurangan, perlulah banyak jumlahnya orang-orang yang berani menyatakan paham. Orang Seperti M. Syafei Kayutanam, yang berani meninggalkan hidup mewah, berkorban untuk memperbaiki pendidikan anak-anak bangsanya, yang selama ini menerima pendidikan penjajah. Mesti banyak yang seperti Rahmah El Yunusiyah, yang berani hidup menjadi janda, karena memikirkan pendidikan saudara-saudaranya kaum perempuan. Mesti banyak yang berani menyatakan pendapat yang baru, seperti Ir. Sukarno dengan artikelnya “Memudahkan Pengertian Islam” di dalam majalah Panji Islam (1938). Beliau telah mengeluarkan beberapa pikiran baru tentang Islam, yang selama ini belum pernah dikeluarkan orang. Terhadap setiap pembaharuan niscaya banyak orang yang tidak setuju, tapi kalau beliau tidak berani menyatakan karena takut bantahan, tentu tidak akan diketahuinya bahwa ada pula yang menyetujuinya.

Mesti timbul kelompok-kelompok muda yang berani menyatakan pendapat. Sebab sekarang perhubungan telah mudah, percetakan telah banyak dan penerbitan telah ada.

Adapun orang yang enggan menyatakan keyakinannya karena takut akan dikritik, segan menyatakan pendirian karena takut akan dibenci, adalah orang yang pengecut. Terutama sekali perlu diperhatikan oleh penulis-penulis dan pengarang-pengarang. Orang yang pengecut, atau yang membungkamkan kebenaran karena takut dibenci, atau penulis-penulis yang hanya menurutkan kehendak orang banyak, walaupun dalam perkara yang tidak diselidiki lebih dalam, tidaklah akan dihargai orang. Topengnya akan terbuka. Sebab bukan pembela kebenaran, tetapi pembela namanya sendiri. Tegasnya, pembela “periuk nasinya”.

Orang yang berani menyatakan kebenaran, kalau memperoleh kawan, adalah kawan yang setia dan yakin akan pendiriannya. Yang tidak ditakuti akan mungkir. Kalau dia beroleh lawan, ialah yang meskipun tidak tunduk selalu kepadanya, namun dia tetap menghormatinya. Dan kalau ada yang memusuhi, bukanlah karena tidak mengakui kebesarannya. Tetapi rasa permusuhan timbul ialah lantaran telah mengakui lebih dahulu akan kebesarannya.

Kita tidak boleh sunyi setiap waktu dari orang yang berani menyatakan kebenaran. Yang meluruskan barang yang condong, memperbaiki barang yang salah. Yang tidak peduli pada kebencian dan ejekan orang. Meskipun benci kepadanya, namun kebenarannya tidak akan dapat ditolak. Orang tidak akan kuasa menolak pendapat itu. Orang hanya akan sempat mencari kesalahannya, kalau dia salah. Itulah kelak yang akan disorak-sorakkan. Dan orang hanya akan sempat membuat fitnah atas dirinya, karena merasa kalah, dan tak sanggup menghadapinya dengan jalan berhadap-hadapan, karena pada hakikatnya dia tidak salah.

Adanya orang seperti itu diperlukan oleh bangsa, perlu dipupuk.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Hal. 252-257, Republika Penerbit, Cet.IV, 2016).

TABLIGH

Saya teringat kembali kepada Tahun-tahun 1924 ketika saya mulai memperluas pandangan dan mengembara ke luar dari kampung halaman di Padang Panjang. Saya pergi ke Yogyakarta dan Pekalongan. Gerak Muhammadiyah sedang mulai timbul dengan pesat. Yang terlebih penting ialah gerak tabligh.

Berikut tujuan Muhammadiyah yang dianjurkan oleh Kiai H. Ahmad Dahlan itu ada disebutkan pada statuta (anggaran dasar): “Memajukan dan menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam; memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam bagi seluruh anggota-anggotanya.”

Yang dihidupkan di sini ialah memajukan dan menggembirakan atau anjuran yang menggembirakan. Semuanya didasarkan kepada amal yang gembira. Bukan hanya amal yang menjanjikan, masuk surga siapa yang mengamalkan dan masuk neraka siapa yang tidak mau mengamalkan. Dahulu orang disuruh menghafal ayat Al-Qur’an, menghafal pula hadits-hadits, banyak-banyak untuk menghiasi pengajian. Pada perkembangan Muhammadiyah yang pertama itu, yang dipentingkan ialah pemahaman, pengertian dan penghayatan, yang selalu dihadapi dengan gembira, dimusyawarahkan bersama bagaimana cara menjalankan dan mengamalkannya. Kita yang merasakan sendiri perubahan itu, merasa bahwa agama itu adalah hidup. Kita baru waktu itu memulai betapa artinya bagi Islam mengumpulkan zakat fitrah ketika sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri di Pekalongan.

Meskipun setiap hari kita mendengar mulut usil yang mencaci-maki Muhammadiyah sebagai Madzhab Wahabi. Kaum Muda yang tidak bermadzhab dan berbagai caci-maki yang lain, tetapi Muhammadiyah membalasnya dengan mengumpulkan zakat fitrah dari anggota-anggotanya sendiri lalu membagikannya ke rumah-rumah orang yang berhak menerimanya, meskipun Muhammadiyah mengetahui bahwa yang akan diberi pembagian itu termasuk orang-orang yang mencaci-makinya selama ini. Namun, pembagian zakat fitrah itu mereka terima juga dengan segala senang hati.

(Buya HAMKA, PRINSIP DAN KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM, Hal. 108-112, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).