BUYA HAMKA TENTANG AURAT (RINGKASAN)

-WASPADAI ‘HADITS’ PALSU/BATIL/MUNKAR: Rambut = digantung di Neraka dsb.

PUNCAK SEGALA DOSA

Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat kedustaan atas nama Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya?” (al-A’raaf: 37).

Keduanya ini adalah puncak-puncak kezaliman yang tidak dapat dimaafkan.

KEKAL DALAM NERAKA

Maka, mereka inilah yang telah disebutkan Allah dalam ayat 18 bahwa mereka bersama Setan Iblis itu akan diambil sepenuh padatnya Jahannam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 415-423, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ANDAI KAU MASIH ADA
Oleh: Ratih Sanggarwati

Andai kau masih ada, Buya
Kau kan bersedih melihat para ibu itu tak mau mengajarkan
Jangankan mengaji, Buya
Mengajarkan sopan santun saja mereka tak mampu
Oh bukan Buya, bukan tak mampu, tapi mereka tak mau

Jakarta, 08 April 2008

(Irfan HAMKA, Ayah…, Hal. 322, Republika Penerbit, Cet.XII, 2016).

DI SINI TIDAK ADA LAKI-LAKI

Di zaman dahulu pernah raja-raja atau khalifah menjatuhkan hukum penghinaan kepada seorang laki-laki dengan mencukur janggutnya.

Sampai berpengaruh menjadi pepatah:

Permainan laki-laki ialah bertumpah darah, permainan perempuan mencat-mengecat kuku dengan pacar (inai).”

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 242, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

“Bagi riba itu adalah 73 pintu. Yang sekecil-kecil pintunya sama dengan menyetubuhi ibu kandung sendiri. Dan, riba yang paling riba ialah mengganggu kehormatan seorang Muslim.” (HR. Al-Baihaqi dan al-Hakim).

ABA, CAHAYA KELUARGA

Natsir pun menegur para pelajar yang dinilainya cenderung meremehkan orang Islam tak berjilbab.

Nur Nahar seperti laiknya orang Melayu dan umumnya warga Masyumi. Sehari-hari dia tampil berkebaya panjang atau baju kurung tanpa kerudung.

(NATSIR, Politik Santun Di Antara Dua Rezim, Hal. 139-140, Tempo Publishing – Gramedia, Cet.1, 2017).

DEMOKRASI BANCI DAN EMANSIPASI MUKHANNAS

Oh…. masih panjang ujungnya. Cobalah lihat sebentar lagi, tentu akan diadakan pertandingan Beauty Contest di Indonesia ini. Memilih perempuan cantik yang diukur pinggangnya sekian sentimeter, besar pinggulnya, sekian pula besar pahanya. Itu tentu akan diadakan, sebab sudah dimulai dengan pertandingan Perempuan yang Paling Pandai Mengendarai Mobil. Itulah yang dinamai emansipasi. Laki-laki dan perempuan sama-sama punya hak dan kewajiban. Itulah yang dihantam oleh Filosof Jerman, Nietzsche, yang dinamakannya sebagai demokrasi banci atau dalam bahasa Arabnya mukhannas. Mulanya dihilangkan ghirah laki-laki, akhirnya laki-laki mengikuti perintah perempuan, yang kemudian perempuanlah yang berkuasa di belakang layar. Apa macam!

Islam dalam ajarannya yang asli dari Nabi Muhammad saw. tidak memingit perempuan. Perempuan boleh, bahkan dianjurkan turut mengambil bagian dalam pembangunan masyarakat. Dari mana ia mulai? Dari rumah tangga, melalui pendidikan anak-anak. Perempuan Islam di Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya berdiam di rumah, tetapi mereka telah tampil pula di garis depan. Kita mempunyai gerakan-gerakan perempuan Islam, seperti Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah yang didirikan oleh Muhammadiyah. Selain itu juga dari Nahdatul Ulama ada Muslimat dan Fatayat NU. Pergerakan lainnya, yakni Muslimat PERTI dan Muslimat PSII. Kepada mereka, dari sekarang wajib kita ingatkan supaya sadar benar di garis mana mereka harus tegak dan di garis mana mereka berjuang. Mana yang milik kita dan mana yang tiruan dari demokrasi banci dan emansipasi mukhannas sehingga kaum laki-laki kehilangan ghirahnya.

ANTARKAN KE KUBURAN

Apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umat Islam itu. Kocongkan kain kafannya, lalu masukkan ke dalam Keranda dan antarkan ke Kuburan. Kalau masih ada pemuda Islam yang merasa bangga dibuang 15 tahun karena ghirah akibat saudara perempuannya diganggu, pertanda bahwa sesungguhnya Islam belum kalah!

SIRI

“Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia pun mati syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan darahnya maka ia pun mati syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan agamanya maka ia pun mati syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan keluarganya maka ia pun mati syahid.” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Kalau dipandang dari segi Islam, orang yang tidak timbul sirinya karena perempuannya diganggu, namanya ialah laki-laki dayuts atau tidak tahu malu. Kalau ditinjau dari segi Islam, orang yang tidak tergetar dan tidak timbul cemburunya kalau istri atau perempuan yang dalam penjagaan dan tanggung jawabnya diganggu orang, dingin saja perasaannya melihat, laki-laki yang demikian dinamai dayuts. Penghargaan orang terhadap orang dayuts ini sama dengan penghargaan terhadap orang yang jubun atau pengecut. Orang-orang dayuts dan jubun ini sama-sama tidak ada hak untuk dihargai.

Dalam Islam, siri yang demikian harus dipelihara dari segala sisi. Pertama, meneguhkan iman dan tawakal kepada Allah sebab keduanya menimbulkan pancaran cahaya pada diri seorang Mukmin. Walaupun ia tidak bercakap sepatah jua pun, cahaya imannya telah memancar dari matanya yang menimbulkan pengaruh pada lingkungan di sekelilingnya. Oleh karena itu, orang yang tadinya berniat jahat kepada orang yang beriman tersebut baru melihat matanya sebentar saja langsung tunduk. Orang yang teguh imannya mempunyai budi pekerti yang mulia (akhlakul karimah). Menurut Imam Ghazali siri yang sejati ialah siri yang menengah atau al-ausath. Ia mempunyai perangai syaja’ah, artinya berani karena yakin berada di pihak yang benar. Ia tidak perlu bersuara keras memaki-maki, menyentak badik, atau mengancam orang dengan badik untuk mempertahankan kebenarannya. Biarpun ia mati dibunuh, yang mati hanyalah dirinya, tetapi kebenaran itu tidak akan mati. Perangai syaja’ah itu adalah pertengahan antara dua perangai yang tercela. Pertama, jubun (pengecut), yakni tidak ada keberanian buat menyebut yang benar. Kedua, tahawwur (berani babi). Jubun ialah orang yang sudah yakin bahwa ia di pihak yang benar, tetapi ia takut menyebut kebenaran itu. Ia tidak mempunyai keberanian moral sampai dideritanya saja segala macam kehinaan dan segala macam penghinaan. Tahawwur ialah orang yang telah tahu bahwa ia salah, tetapi ia bertahan mati-matian mengatakan ada di pihak yang benar, dan tidak mau mendengar pertimbangan orang lain, yang benar hanya ia saja, orang lain salah semua.

Oleh sebab kerasnya penjagaan dan siri terhadap perempuan ini, ketika saya masuk ke Makassar pada Tahun 1931-1934, saya lihat pada tiap-tiap pagi dan sore beratus-ratus anak perempuan pergi bekerja ke gudang-gudang hasil hutan dekat pelabuhan (Kade). Mereka berjalan berbondong-bondong dengan memakai pakaian sarung yang menutupi seluruh tubuhnya hingga mukanya pun tidak kelihatan. Orang-orang yang bertemu di tengah jalan tidak ada pula yang berani melihat lama kepada perempuan yang akan bekerja tadi. Saya juga melihat di waktu itu bendi dan dokar yang dikendarai oleh perempuan-perempuan terhormat ditutup seluruhnya dengan kain sehingga perempuan-perempuan yang berada di dalam pun tidak kelihatan. Tentu sekarang tidak akan kita lihat lagi hal yang demikian itu karena kian lama struktur masyarakat kita berubah. Orang menuju kepada kemajuan secara Barat, modernisasi dan westernisasi. Pakaian perempuan yang diselubungi dengan kain sarung warna-warni itu tidak ada lagi, kian lama kian habis dan hanya tinggal dalam sejarah, bahkan di seluruh Indonesia datang zaman transisi. Semuanya ditiru, semuanya diteladan, modern atau tidak modern. Sekolah tinggi atau sekolah rendah, orang berpacu memakai pakaian Barat, bukan hanya di Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja saja, bahkan di seluruh Indonesia. Sang pemuda pun berani mendekati perempuan karena ada tanda mau didekati. Maka, keberanian untuk mempertahankan siri untuk membela malu terhadap perempuan ini kian lama kian berkurang. Mungkin kian lama kian habis, tinggal hanya cerita saja. Sebabnya mudah saja, yaitu engkau tidak berani lagi mempertahankan siri kalau saudara perempuan diganggu orang sebab engkau pun telah mengganggu saudara perempuan lain.

(Buya HAMKA, GHIRAH: Cemburu Karena Allah, Hal. 11-141, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENDAHULUAN

Ilmu dalam Islam adalah yang ada dasar dan dalilnya, terutama dari dalam Al-Qur’an dan dari As-Sunnah, termasuk juga penafsiran ulama-ulama yang telah mendapat kepercayaan dari umat, yang disebut Salafus Shalihin.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

DAKWAH

Di dalam melakukan dakwah, bukanlah mengarang sendiri dakwah itu menurut yang enak di pikiran kita sendiri saja. Kita harus mempunyai dasar dari Al-Qur’an, dari Sunnah Nabi saw., dan dari tafsiran ulama-ulama ikutan yang kebilangan.

(Buya HAMKA, PRINSIP DAN KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM, Hal. 171, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

BATAL-LAH ISLAM KITA

Kalau kita masih ragu, menyangka ada jalan lain selain jalan Muhammad saw. yang kita anggap benar, batal-lah Islam kita.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 121, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KAFIR-LAH ORANGNYA

Jika ada keyakinan bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari Islam, kafir-lah orangnya, walaupun dia masih Shalat.

KAFIR MENURUT HUKUM AGAMA

Yang dikatakan kafir ialah orang-orang yang tidak mau percaya kepada adanya Allah. Atau percaya juga dia bahwa Allah ada, tetapi tidak dipercayainya akan keesaan-Nya, dipersekutukannya yang lain itu dengan Allah. Atau, tidak percaya akan kedatangan rasul-rasul dan nabi-nabi Allah dan tidak percaya akan kehidupan Hari Akhirat. Tidak percaya akan adanya surga dan neraka. Pendeknya, tidak menerima, tidak mau percaya pada keterangan-keterangan jelas yang termaktub dalam Kitab Allah, semuanya itu ditolaknya setelah datang kepadanya keterangan yang jelas.

Tahu akan kebenaran, tetapi tidak mau mengakuinya, itulah corak kafir yang terbanyak di zaman Nabi saw. Adapun kafir di zaman kita ini, yang hampir sama dengan itu ialah orang-orang yang menyatakan bahwa Islam itu hanya agama untuk orang Arab, bukan untuk bangsa lain. Atau, berkata bahwa agama itu hanya untuk ibadah kepada Allah saja, sedang peraturan-peraturan Islam yang mengenai masyarakat, tidaklah sesuai lagi dengan zaman.

TIDAKKAH ADA ULAMA DI SINI?

“… Mereka itu, atas mereka adalah laknat Allah dan malaikat dan manusia sekaliannya.” (al-Baqarah: 161).

Apabila orang-orang yang dianggap ahli tentang agama tentang Al-Qur’an dan Hadits telah bersikap pula menyembunyikan kebenaran, misalnya karena segan kepada orang yang berkuasa atau takut pengaruh akan hilang terhadap pengikut-pengikut mereka, kutuk yang terkandung dalam ayat ini pun akan menimpa mereka.

KECUALI ORANG-ORANG YANG BERTOBAT

Menyembunyikan kebenaran itu adalah jalan yang sesat.

Inilah penegasan dari Allah bahwa apabila orang telah kembali ke jalan yang benar, telah insaf, dan keinsafan itu dituruti dengan kegiatan menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang telah keruh, memperbaiki yang telah rusak dan tidak bosan-bosan memberikan penjelasan, segeralah Allah akan memberikan tobatnya.

PUNCAK KEKAFIRAN

Kekal mereka di dalamnya, tidak akan diringankan adzab atas mereka dan tidaklah mereka akan dipedulikan.” (al-Baqarah: 162).

Puncak kekafiran adalah mengingkari adanya Allah atau mempersekutukan-Nya dengan yang lain, atau tidak mau percaya kepada adanya Hari Kemudian (Kiamat), atau tidak mau mengakui wahyu, atau berkata tentang Allah dengan tidak ada pengetahuan. Pendeknya, segala sikap menolak kebenaran yang dijalankan agama dan mempertahankan yang batil, yang telah diterangkan batilnya oleh agama.

JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN

Tiada Dia bersekutu dalam keadaan-Nya dengan yang lain. Demikian juga tentang mengatur syari’at agama, tidak ada peraturan lain, melainkan dari Dia.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 357, Jilid 1 Hal. 106, Jilid 1 Hal. 295-297, Jilid 4 Hal. 304, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KAIDAH USHUL FIQIH

Meskipun terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat, namun yang kita jadikan pedoman ialah isinya. Karena tersebut di dalam kaidah ushul fiqih:

“Yang dipandang adalah umum maksud perkataan, bukanlah sebab yang khusus.”

Artinya, yang dipandang ialah maksud dan tujuan perkataan, bukanlah tentang sebab turunnya ayat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 719, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SELURUH TUBUH ITU AURAT

Setengah ulama mengatakan, bahwa seluruh tubuh itu aurat, artinya seluruhnya membawa daya tarik. Sebab itu hendaklah dia berpakaian yang dapat menutupi nafsu syahwat orang yang memandangnya, artinya yang sopan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 331, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BENTUK PAKAIAN

Sumber hukum agama Islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi atau pendapat ulama-ulama yang besar-besar tidak menunjukkan bentuk apa yang mesti dipakai. Apakah rok atau kain batik sebab bentuk pakaian itu telah termasuk kebudayaan. Rok cara Barat itu banyak yang sopan, menutup aurat, dipakai oleh perempuan yang berkesopanan tinggi, seperti pakaian Ratu Inggris. Ada pula rok yang tabarruj, seperti rok mini, you can see, paha sebagian besar terbuka, dada sebagian besar terekspos, punggung sebagian besar terpampang, yang maksudnya itu tidak lain adalah untuk menarik nafsu laki-laki, itulah kegilaan model. Pakaian asli kita pun ada yang sopan. Kaum Aisyiyah di Jawa, pakaian Ibu Rahmah El-Yunusiyah di Sumatera, Kudung dan Mukena. Ibu-ibu Muslimat banyak yang sopan sebab hati dan pemakaiannya pun dipenuhi iman dan kesopanan. Ada baju cara Sunda dan Jawa, baju kurung cara Minang (di Jawa dinamakan Minangan) dan ada kebaya panjang cara Medan. Semuanya sopan karena beriman pemakaiannya. Namun, ada pula pakaian itu yang tabarruj, kebaya pendek disimbahkan dadanya sedikit karena dengan sengaja hendak memperlihatkan bagian dada, apalagi ketika dibawa menekur.

Sekolah Muhammadiyah itu pun terdiri dari dua corak, karena pengaruh bentuk masyarakat yang ditempati. Sekolah-sekolah yang meniru sekolah negeri, anak-anak pelajarnya memakai rok (gaun) dan sekolah-sekolah yang bersifat Madrasah yang bernama Ibtidaiyah, Aliyah dan sebagainya, pelajarnya memakai kebaya, kain dan Makromah. Perbedaan kedua bentuk pakaian itu tidaklah ada ketentuan dari agama, sebagaimana telah saya katakan di atas.

Saya pun melihat rok atau gaun yang sopan seperti yang dipakai oleh Ratu Inggris dan Ratu Yuliana ketika beliau ziarah ke Indonesia dan saya pun banyak melihat kebaya yang sengaja dibikin hingga bagian dada dipamerkan. Rok Ratu Inggris dan Ratu Yuliana yang begitu tidak terlarang dalam Islam, sedangkan kebaya yang memamerkan bagian dada itu tercela oleh Islam.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 160-161, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

DI DALAM SHALAT

Seorang perempuan shalat, tidaklah diterima Allah shalatnya kalau ia tidak memakai khimar.

Khimar adalah selendang yang dapat menutup kepala. Oleh ahli-ahli agama di tanah air kita ini (baik di Sumatera maupun di tanah Melayu atau di tanah Jawa) dibuatlah pakaian untuk shalat perempuan.

Itulah yang dinamakan Mukenah, dari bahasa Arab, Muqniah.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 157, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PERTANYAAN

Menurut ajaran Islam yang pernah saya terima, aurat perempuan adalah seluruh badan (tubuh), kecuali muka dan kedua telapak tangan. Menurut penjelasan yang pernah saya terima dari seorang guru agama Islam di Jetis Yogyakarta bahwa seorang perempuan wajib menutup auratnya ketika melakukan shalat, sedangkan di luar shalat (waktu berada di jalan, di pertemuan, di sekolah) seorang perempuan boleh memakai rok (gaun, yurk). Namun seorang ustadz di Tasikmalaya pernah menerangkan kepada saya bahwa kewajiban seorang perempuan menutup auratnya tidak hanya pada shalat saja, tetapi juga di luar shalat (di jalan, pertemuan, di sekolah) perempuan harus juga menutup aurat seluruhnya. Berhubung dari kedua guru agama tersebut saya tidak memperoleh alasannya dari firman Allah dalam Al-Qur’an atau hadits shahih dan perjuangan Nabi Muhammad saw., bersama ini saya mohon penjelasan Bapak Prof. Dr. HAMKA dengan didasarkan Al-Qur’an dan Hadits.

Atas jawaban Bapak terhadap pertanyaan saya di atas, saya menyampaikan banyak terima kasih.

Latifah binti Susilani

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 154-156, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

JAWABAN (ringkasan)

Bapak mengerti perubahan zaman.

Namun agama Islam tidaklah berubah.

Dia tetap pada prinsipnya “jagalah Kesopanan” dan janganlah Tabarruj!

Sekian jawaban Bapak.

Bapak berikan agak panjang supaya berfaedah juga bagi yang lain.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 164-165, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PEREMPUAN ITU SENDIRI ADALAH AURAT

Ananda menanyakan tentang batas aurat perempuan, “Sampai batas-batas manakah seorang perempuan muslim harus berpakaian?”

Oleh karena Ananda yang bertanya tampaknya memang seorang perempuan Muslimat yang ingin mengikuti Nabi saw., ingatlah sebuah hadits yang dirawikan oleh at-Tirmidzi, Perempuan itu sendiri adalah aurat. Bila ia telah keluar, Setan terus mendekatinya. Tempat yang paling dekat untuknya dalam perlindungannya adalah terang-terang di bawah atap rumahnya.”

Oleh sebab itu kalau tidak perlu benar, janganlah keluar. Misalnya pergi belajar.

Pergi ke Masjid tidaklah dilarang. Namun, shalat di rumah adalah lebih afdhal.

Tentu timbullah pertanyaan, “Apakah perempuan hanya lebih baik tinggal di rumah saja?” Tentu saja arti duduk di rumah itu adalah menurut sabda Nabi yang terkenal juga, “Dan perempuan adalah penggembala di dalam rumah tangga suaminya dan ia pun bertanggung jawab atas penggembalaannya itu.” (HR. Bukhari Muslim). Tegasnya, tidaklah akan berjaya perjuangan seorang suami di medan hidup yang mana saja, kalau rumah tangga, menjaga harta benda dan anak-anak tidak dibentengi oleh sang istri yang setia. Memang peraturan yang ditentukan oleh Rasulullah saw. tentang perempuan lebih afdhal duduk di rumah ini, sangat tidak sesuai dengan kehidupan modern, terutama di tanah air kita yang mulai meniru segala gerak-gerik Barat. Sudah pasti bahwa banyak perempuan tidak senang atas jawaban ini karena banyak yang tidak sesuai dengan gerakan “Hak-Hak Perempuan” atau Women Emancipatie, cara Barat di negeri kita sekarang. Namun, jika mereka tidak senang, bukanlah berarti bahwa apa yang diatur oleh Nabi saw. itu suatu kesalahan yang tidak boleh disiarkan.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 167-172, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

MENJADI IBU RUMAH TANGGA YANG TERHORMAT

“Dan menetaplah kamu di dalam rumah kamu …” (al-Ahzaab: 33).

Maka segala pesan Allah SWT untuk disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada istri-istrinya ini menjadilah tuntunan bagi tiap-tiap perempuan yang beriman yang bukan istri Rasul. Berpakaianlah yang sopan, jangan berhias secara jahiliyyah, janganlah shalat dilalaikan dan berzakatlah kalau ada yang akan dizakatkan dan selalulah taat kepada Allah dan Rasul.

Karena tidak lain maksud Allah SWT ialah agar terbentuk rumah tangga Islam, rumah tangga yang aman damai, dipatrikan oleh ketaatan, bersih dari perangai yang tercela atau penyakit-penyakit buruk dalam hati. Dan penuhlah hendaknya suatu rumah tangga Islam dengan suasana Al-Qur’an.

Kita pun insaf betapa hebatnya perjuangan di zaman jahiliyyah modern ini hendak menegakkan kebenaran Ilahi. Namun yang keji tetaplah keji walaupun banyak orang yang hanyut dibawa arusnya.

IMAN

Beribadah menurut contoh teladan yang dibawakan Nabi saw., melakukan syari’at yang digariskan Allah dengan penuh kesadaran, itulah dia yang bernama iman.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 210-211, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEBEBASAN

“Dan berfirman Kami, ‘Wahai, Adam! Tinggallah engkau dan istri engkau di taman ini dan makanlah berdua daripadanya dengan senang sesuka-sukamu berdua dan janganlah kedua kamu mendekat ke pohon ini, karena (kalau mendekat) akan jadilah kamu berdua dari orang yang aniaya.'” (al-Baqarah: 35).

Maka, disuruhlah Adam dan istrinya duduk di dalam taman indah berseri itu. Mereka keduanya diberi kebebasan, makan dan minum, memetik buah-buahan yang lezat ranum, yang hanya tinggal memetik. Artinya, bebas merdeka. Akan tetapi, di dalam ayat ini kita bertemu lagi satu pelajaran tentang filsafat merdeka. Kemerdekaan ialah kebebasan membatasi diri! Orang yang tidak sanggup memelihara kemerdekaannya, niscaya akan kehilangan kemerdekaan itu. Dan jika kemerdekaan telah hilang, kerugianlah yang akan berjumpa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 141-142, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JANJI AHLI-AHLI PENGETAHUAN

“Alangkah jahat tukaran yang mereka terima itu.” (Aali ‘Imraan ujung ayat 187).

Teringatlah kita bila merenungkan ujung ayat ini kepada perkataan tabi’in yang besar, yaitu Qatadah. Beliau berkata, “Inilah perjanjian yang telah diambil Allah dengan ahli-ahli ilmu. Maka, barangsiapa mengetahui sesuatu ilmu, hendaklah diajarkannya kepada manusia. Sekali-kali jangan disembunyikannya ilmu itu, karena menyembunyikan ilmu adalah suatu kebinasaan.” Mereka wajib menerangkan yang sebenarnya. Kalau tidak, maka mereka telah khianat atau membawa kebinasaan. Ilmu pengetahuan dengan sendirinya hendaklah membentuk akhlak, karakter, moral dan mental. Hal-hal yang seperti ini telah diberikan contoh teladannya oleh Ulama-ulama Salaf yang mulia. Keempat imam ikutan umat Islam, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali, semuanya telah menjadi korban keyakinan mereka kepada ilmu. Memang beratlah menjadi ulama dan menjadi sarjana, sebab mereka itu dengan ilmunya telah mengikat janji dengan Allah.

“Sekali-kali janganlah engkau sangka bahwa mereka akan terlepas dari adzab. Bahkan untuk mereka adzab yang pedih.” (Aali ‘Imraan ujung ayat 188).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 142-148, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERSAHABATAN

“Jujurlah, walaupun kejujuran itu akan membunuhmu.”

Sekian fatwa Sayidina Umar bin Khaththab.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Hal. 387, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

SESAT DAN MENYESATKAN

Ibnul Qayyim mengingatkan, bahwa tradisi, motivasi, situasi, tempat dan waktu memengaruhi perubahan dan keragaman fatwa atau pemikiran hukum atau fikih. Ia mendeklarasikan adagiumnya (kaidah) yang berbunyi: Perubahan dan keragaman fatwa (dimungkinkan terjadi) karena memperhatikan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat-istiadat.” Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menegaskan, bahwa melahirkan fatwa atau fikih tanpa memperhatikan lima faktor yang telah disebutkan merupakan keputusan yang sesat dan menyesatkan.

(Fikih Kebinekaan, Hal. 318-319, Penerbit Mizan, Cet.1, 2015).

FATWA YANG SESAT

Berkata Imam Ghazali, “Kerusakan negeri karena kerusakan raja, kerusakan raja karena kerusakan ulama, yaitu ulama su’ (ulama jahat).”

Tidak boleh diikuti kalau ulama menunjukkan fatwa yang sesat.

(Buya HAMKA, TASAWUF MODERN: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 158, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

MUNAFIK DENGAN JIWA YANG SAKIT

Di dalam hati mereka ada penyakit maka menambahlah Allah akan penyakit (lain). Dan, untuk mereka adalah adzab yang pedih dari sebab mereka telah berdusta.” (al-Baqarah: 10).

Di kalangan kita pun kadang-kadang dengan tidak disadari timbul pula penyakit jiwa yang semacam ini, dari orang-orang yang menyebut dirinya alim dalam hal agama atau sarjana dalam ilmu pengetahuan. Pengetahuan mereka tentang macam kitab atau textbook thinking, dijadikan ukuran untuk menghambat kemajuan berpikir. Mereka hanya taklid pada yang tertulis dalam kitab, tetapi mereka tidak meninjau bagaimana perkembangan yang baru dalam masyarakat. Sebab itu, mereka menjadi munafik. Munafik dengan jiwa yang sakit.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 110-111, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MAKSIAT DAN PENYAKIT JIWA

Penyakit jiwa itu dipancing dengan pakaian yang menimbulkan syahwat. Karena itu, Islam memberi batas-batas apa yang dinamai aurat. Bukan pula dia menentukan mode dan bentuk suatu pakaian. Islam tidak melarang berpakaian secara Eropa dan Amerika. Islam tidak mewajibkan orang mesti memakai pakaian menurut suatu corak, karena itu adalah termasuk kebudayaan. Pakaian Eropa ada yang sopan, tertutup aurat, mengapa tidak itu yang ditiru? Islam tidak memerintahkan perempuan menutup tubuhnya dengan goni dan matanya saja yang keluar! Apa gunanya membungkus badan dengan goni itu padahal mata yang keluar sedikit itu penuh syahwat seakan-akan mengucapkan “pegang aku”!

Di Timur, di negeri-negeri Islam, dan di Barat, di negeri-negeri Kristen, ada pakaian yang sopan dan bila dipakai oleh seorang perempuan timbullah rasa hormat kita!

Dosa-dosa yang lain pun sebagian terbesar adalah karena “penyakit jiwa”. Seorang yang bersifat munafik, pepat di luar pancung di dalam adalah karena penyakit jiwa.

Seorang pengambil muka kepada orang besar-besar, sehingga mau menggadaikan harga diri sendiri, adalah karena penyakit jiwa. Kadang-kadang dia tidak merasa keberatan istrinya sendiri dijadikan “sunting” oleh tempatnya menjilat itu karena mengharapkan suatu pangkat atau kedudukan, ini pun penyakit jiwa.

Mencuri harta orang lain, korupsi besar-besaran, hidup mewah melebihi kemampuan diri, semuanya ini timbul dari penyakit jiwa.

Jiwa yang seperti itu akan tetap kotor dan bertambah kotor kalau tidak diobat dengan iman dan Islam. Tuhan berfirman, “Dalam hati mereka ada penyakit lalu Allah menambah penyakitnya itu dan mereka mendapat adzab yang pedih, karena mereka berdusta.” (al-Baqarah: 10).

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 428-429, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

KEBENARAN (AL-HAQ)

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (al-Anbiyaa’: 107).

Taqlid terbagi dua. Pertama taqlid kaum tua, yaitu yang menelan dan nrimo saja pusaka buah pikiran ulama-ulama Islam yang dahulu, serupa tidak akan berubah-ubah lagi. Padahal seperti kita telah katakan tadi, semuanya itu hanya zhanni! Dia hendak tetap memakai di tanah Indonesia, peraturan fiqih yang 700 tahun yang telah lalu dijalankan di Baghdad atau Mesir! Kedua taqlid kaum muda, yang juga lesu berpikir, tidak percaya kekuatan pribadi bangsa sendiri, lalu jadi Pak Turut saja dari demokrasi Amerika, liberalisme Abad ke-19, atau komunisme Rusia.

Suatu ijtihad pula yang berdasar zhanni yang bisa berubah karena datang yang lebih benar.

Hanya satu yang tidak akan berubah selama-lamanya, yaitu kebenaran (al-haq).

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 169-171, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

“NEO-FEODALISME” KAUM AGAMA

Kaum moderenisasi-reformasi yang dipelopori di Indonesia ini oleh Kiyai H.A. Dahlan dan lain-lain mempunyai garis tertentu dalam menghadapi perbaharuan Islam. Pertama, aqidah dan ibadah Islam harus dikembalikan kepada ajaran asli Nabi Muhammad, menurut Al-Qur’an dan Hadits dan memakai ijtihad. Kita harus berani kembali meninjau pendapat-pendapat ulama yang datang di belakang, baik dia Imam Syafi’i sekalipun. Sunnah mesti ditegakkan dan Bid’ah mesti dibuangkan. Dalam hal ini mereka adalah “kolot” (orthodoks, salafi). Kedua, soal-soal di luar ibadah dan aqidah, yaitu yang termasuk soal muamalah (kemasyarakatan), pun akan lebih banyak menimbulkan khilafiyah, sebab soalnya berkembang terus. Kecemasan menghadapi khilafiyah dalam hal-hal seperti ini, mungkin timbul dari “murakkabun naqshas”, yaitu takut menghadapi kenyataan.

Menuduh-nuduh adalah alat terakhir dari orang-orang yang telah kehilangan alat.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 64-66, Penerbit Galata Media, Cet.I, 2018).

SAMBUTAN SEBAGAI KETUA MAJELIS ULAMA INDONESIA 27 JULI 1975

Salah seorang dari imam kita yang empat, yaitu Imam Malik bin Anas, memberikan patokan kepada kita, “Ulama itu adalah pelita dari zamannya.” Dia membawa terang bagi alam yang berada sekelilingnya. Maka, kalau 50 tahun lampau, bahan bakar penerang sekeliling baru minyak tanah, ulama adalah petromaks. Di zaman sekarang, lampu-lampu listrik ukuran 100 watt, ulama hendaklah 1.000 watt.

(Rusydi Hamka, PRIBADI DAN MARTABAT BUYA HAMKA, Hal. 306, Penerbit Noura, Cet.I, 2017).

PENEGASAN ALLAH DENGAN SUMPAH

Di ayat 65 akan kita baca penegasan Allah dengan sumpah bahwa orang yang tidak mau menerima tahkim dari Allah dan Rasul-Nya, tidaklah termasuk orang yang beriman. “Walau shallaa, walau shaama!” Walaupun dia Shalat, walaupun dia Puasa.

Maka sungguh tidak, demi Allah engkau! Tidaklah mereka itu beriman, sehingga mereka ber-tahkim kepada engkau pada hal-hal yang berselisih di antara mereka.” (an-Nisaa’: 65).

TAHKIM YANG JITU

“Telah aku tinggalkan pada kamu dua hal yang penting. Sekali-kali tidaklah kamu akan tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (hadits shahih; HR. Bukhari dan Muslim dan beberapa ulama hadits yang lain).

Imam Malik pernah mengatakan, “Ulama itu adalah pelita dari zamannya.” Tandanya, selain dari mengetahui ilmu-ilmu agama yang mendalam, ulama hendaklah pula tahu keadaan makaan (ruang) dan zamaan (waktu) sehingga dia tidak membeku (jumud). Karena dengan jumud dan beku, mereka tidak akan dapat memberikan tahkim yang jitu sebagai penerima waris dari Rasulullah saw. kepada masyarakat yang selalu berkembang.

SHAHIH

“Dan mereka itu adalah terhadap ayat-ayat Kami amat yakin.” (as-Sajdah ujung ayat 24).

Ibnu Katsir memberikan komentar dalam tafsirnya tentang imam-imam Bani Israil itu, “Tetapi setelah ada dalam kalangan mereka yang mengganti-ganti, menukar-nukar dan menta’wilkan arti ayat suci dari maksudnya yang sebenarnya, dicabut Allah-lah maqam jadi imam itu, dan jadilah hati mereka kesat dan kasar, sampai berani mentahrifkan kata-kata dari tempatnya yang sebenarnya. Tidaklah lagi mereka mengamalkan yang shahih, tidaklah lagi mereka beriktikad yang betul.”

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 353-356, Jilid 7 Hal. 136, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

“Dan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian berdua dustakan?” (ar-Rahmaan: 13).

MUSYRIK

Dan apakah sangkaan orang-orang yang telah mengada-adakan suatu dusta atas nama Allah pada hari Kiamat? Sesungguhnya Allah mempunyai karunia atas manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak berterima kasih.” (Yuunus: 60).

Mengharamkan sesuatu hendaklah dengan nash yang qath’i, seumpama tentang haramnya meminum minuman memabukkan (tuak, alkohol). Al-Imam Abu Yusuf menjelaskan bahwa tidak ada ulama yang berani mengatakan sesuatu adalah haram, melainkan bila ada keterangannya dari Kitab Allah, dengan tidak dapat lagi ditafsirkan pada yang lain. Oleh karena itu, ketentuan syara’ atau tasyri’ tentang haram dan halal keagamaan hanyalah semata-mata hak Allah Ta’aala. Kalau kita terima lagi peraturan haram dan halal dari yang lain, mulailah kita menjadi musyrik. Dan orang-orang yang mengakui ulama yang lancang mengeluarkan fatwa memutuskan sesuatu adalah haram, adalah lancang pula untuk masuk neraka. Di dalam surah an-Nahl, ayat 116, akan bertemu lagi peringatan Allah, supaya kamu jangan mengatakan terhadap apa yang disifatkan oleh lidah kamu yang dusta, bahwa ini halal dan ini haram, karena hendak mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Agama yang begitu lapang, janganlah dipersempit dengan lidah orang yang lancang.

Pada kira-kira Tahun 1910, ributlah ulama-ulama di Padang, tentang perkara memakai dasi. Ulama Kaum Muda mengatakan halal, tetapi Ulama Kaum Tua mengatakan haram, dengan mengemukakan alasan hadits, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia pun terhitung jadi kaum itu.” Tegasnya, oleh karena dasi adalah pakaian kafir Belanda, maka barangsiapa orang Islam memakai dasi, menjadilah dia kafir seperti Belanda. Begitu cara mereka memahamkan. Akhirnya apa yang kejadian? Memakai dasi menjadi merata, padahal yang memakainya itu tetap orang Islam juga.

Amat banyak karunia Allah kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak pandai berterima kasih, sebab kesempitan pahamnya.

GOLONGAN MUDA DAN GOLONGAN TUA

Golongan Muda menjelma jadi Muhammadiyah pada 1912, sedangkan Golongan Tua menjelma menjadi Nahdhatul Ulama pada 1925.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 441-442, Jilid 1 Hal. 504, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AYAHKU

A.R. St. Mansur bercerita:

Beliau berkata kepadaku, Ahmad! Engkau telah aku ajar berfikir bebas, engkau telah ku ajar melepaskan taklid buta. Oleh sebab itu, ke mana pun engkau pergi, hendaklah engkau berani mempertahankan kebenaran. Kalau engkau pengecut mempertahankan kebenaran, akan aku suapkan najis ke dalam mulutmu!

Ketika mereka dituduh kafir lantaran memfatwakan bahawa cepiau, seluar panjang dan dasi tidaklah menyerupai kafir, maka timbullah nekad mereka.

Dalam sebentar waktu sahaja, dengan seluar panjang, dasi dan cepiau! Topi Panama!

Bertahun-tahun lamanya Syeikh Abdullah Ahmad dan Syeikh Abdul Karim Amrullah memakai dasi dan seluar panjang, dengan di kepalanya memakai tarbus, bahkan kadang-kadang cepiau!

Mahu apa? Siapa mahu menentang? Siapa mahu mengaji?

Syeikh Jambek luar biasa pula, beliau membeli sepeda motor, kemudian ditukarnya dengan kereta (mobil, -pen) dan dikendalikannya sendiri. Di bahunya tersandang bedil, untuk berburu.

Mahu apa? Siapa mahu lawan? Siapa mahu debat?

(Buya HAMKA, Ayahku, 457-458, 155, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

PENGANTAR: TENTANG TASAWUF

Sayid Rasyid Ridha berkata ketika memberi syarah akan hadits, “Zuhudlah kepada dunia supaya Allah cinta kepadamu dan zuhud pulalah kepada yang di tangan manusia, supaya manusia pun suka kepadamu.” Ketika memberi syarah hadits ini, Imam Nawawi telah mengutip perkataan Imam Syafi’i yang berkata tentang mencari harta dunia demikian: “Menuntut berlebih harta benda, walaupun pada yang halal, adalah siksa yang diberikan Allah kepada hati orang yang mukmin,” maka Sayid Rasyid Ridha berkata, Perkataan itu jauh dari kebenaran. Sebab, meminta tambahan harta yang halal itu tidaklah haram, tidaklah siksa. Kalau sekiranya meminta tambah yang halal itu haram, dan siksa pula, mengapa dia dihalalkan? Dan bukan pula dia makruh. Jatuh hukum haramnya, jika harta yang halal menjadi tangga untuk mencapai yang haram, dan dimakruhkan jika menyebabkan perbuatan tercela. Sahabat-sahabat yang besar, demikian juga ulama-ulama tabi’in dan beberapa orang yang shaleh-shaleh ialah orang kaya-raya yang mempunyai harta-benda lebih daripada yang perlu. Sehingga menjadi pertikaian paham di antara ulama-ulama, manakah yang utama di sisi Allah, seorang kaya syukur dengan seorang fakir yang sabar. Adapun berlebih-lebihan memasukkan rasa kebencian terhadap harta kekayaan dunia itu ke dalam hati sanubari, adalah salah satu sebab kelemahan kaum muslimin dan salah satu sebab mereka dapat dikalahkan oleh musuhnya. Kesenangan yang menyebabkan sombong atau lalai dari melakukan kewajiban atau menyebabkan suka kepada haram,” demikian Rasyid Ridha.

(Buya HAMKA, TASAWUF MODERN: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 7-8, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

PERUMPAMAAN YANG MENYEDIHKAN

Kita tidak boleh membeku, terutama dalam urusan duniawi.

Kita ambil suatu perumpamaan yang menyedihkan dalam Kerajaan Islam Turki Osmani, di zaman pemerintahan Sultan Mahmud II (1223 Hijriyah, 1808 Miladiyah sampai 1255 Hijriyah, 1839 Miladiyah). Ketika beliau naik tahta kerajaan, Turki telah dikepung dari segala jurusan terutama dari Tsar Rusia. Musuh mengancam dari mana-mana, namun tiap-tiap berperang lebih banyak kalah daripada menang. Sebabnya ialah karena kerajaan-kerajaan Eropa, yang dipelopori oleh bangsa Prusia dan disempurnakan oleh Napoleon telah mempunyai ilmu perang yang lebih teratur, dengan barisan-barisan yang kompak dan dengan kesatuan komando. Sedang Kerajaan Osmani hanya mempunyai tentara Inkisyariyah (Jenitshar) yang kolot. Di zaman dahulu, memang tentara itulah kemegahan bangsa Turki. Dengan tentara itulah Sultan Muhammad Penakluk (al-Fatih) menyerbu Konstantinopel dan menghancurkan Kerajaan Byzantium. Mereka menggantungkan kemenangan dengan keberanian belaka, sebagai tentara zaman kuno. Tetapi setelah tentara kerajaan-kerajaan Eropa teratur, Kerajaan Osmani tidak dapat lagi mencapai kemenangan dengan hanya keberanian. Perang telah sangat maju ilmunya, terutama dengan ilmu perang Napoleon. Sultan-sultan Turki yang dahulu dari Mahmud II telah merasai bahaya kehancuran Turki kalau masih menurut susunan Inkisyariyah. Tetapi siapa saja sultan yang berani hendak mengubah susunan tentara itu dan meniru cara Eropa, kaum Inkisyariyah tidak suka, selalu berontak bahkan mereka cari pengaruh untuk memakzulkan sultan. Bahkan ada sultan yang mereka bunuh. Tetapi Sultan Mahmud II sudah yakin, susunan tentara mesti diubah. Lalu dicarinya opsir-opsir Perancis yang telah pensiun dari bekas tentara Napoleon, dimintanya datang ke Istanbul dan digajinya buat membentuk tentara model baru menurut Eropa. Kaum Inkisyariyah dengan bantuan ulama-ulama yang sempit paham membuat propaganda di luaran bahwa perbuatan itu meniru orang kafir. Padahal ada hadits Nabi, “Barangsiapa yang meniru menyerupai kafir, maka dia orang kafir pula.” Inilah hadits yang mereka pegang dan besar pengaruhnya kepada orang awam. Tetapi sultan berkeras pada pendiriannya. Pada suatu hari, dengan gelap mata lebih kurang 50.000 orang kaum Inkisyariyah mengadakan demonstrasi menuju istana dan dengan lengkap pula bersenjata. Dari jauh bersorak-sorak menyuruh sultan yang telah meniru orang kafir itu turun saja dari tahta sekarang juga. Akan tetapi sultan yang gagah perkasa itu, dengan dikelilingi oleh wazir-wazir dan orang besar-besar yang setia telah bersiap di istana. Sultan berkata, “Aku ingin akan pendirianku! Siapa yang setia kepadaku, tinggallah bersama aku. Dan siapa yang ragu pergilah menyebrang kepada mereka!” Lalu sultan menyuruh mengeluarkan “Bendera Jihad Pusaka Nabi Muhammad saw.” supaya dikibarkan di muka istana. Setelah itu sultan menyuruh mengisi sekalian meriam yang ada di muka istana. Setelah itu sultan mengutus Wazir Besar menemui pimpinan demonstrasi, memberinya nasihat. Tetapi tambah dinasihati, mereka bertambah kalap dan mendekat. Sultan menggamit Wazir Besar menyuruh kembali. Setelah Wazir Besar kembali ke dekat Sultan, orang-orang yang 50.000 itu pun bertambah mendekat dan setelah dekat benar ke pekarangan istana, mereka tidak dapat dikendalikan lagi, “Tembaak!” Perintah sultan. Lima buah meriam besar sekali meletus, tepat mengenai sasaran, hampir 40.000 mayat kaum Inkisyariyah berkeping-keping dan bergelimpangan, beribu-ribu luka berat dan enteng dan selebihnya lari tumpang-siur. Dengan demikian Sultan Mahmud II telah menyelesaikan kesulitan dalam negerinya dan tentara Turki menurut susunan yang baru telah Baginda tegakkan. Mulai waktu itu pula Baginda menanggali pakaian cara lama dan memakai pakaian Panglima Tertinggi. Sebab itu, sebagaimana kita katakan di atas tadi, Islam akan tetap hidup asal ijtihad tidak padam. Dia akan tetap menjiwai negara, dengan taat kepada Allah dan Rasul, di mana saja. In syaa Allah! Dan memerhatikan kedudukan dengan alasan hadits, tetapi berpikiran beku adalah menghancurkan Islam itu sendiri.

PERSENJATAAN

“Dan persiapkanlah (untuk menghadapi) mereka apa yang kamu bisa, dari kekuatan dan dari tambatan kuda-kuda untuk kamu menakutkan musuh Allah dan musuh kamu dengan dia, dan (musuh) yang lain dari mereka yang tidak kamu ketahui siapa mereka. Allah yang mengetahui siapa mereka. Dan apa pun yang kamu belanjakan pada jalan Allah, akan disempurnakan (ganjarannya) untuk kamu, dan kamu tidaklah akan teraniaya.” (al-Anfaal: 60).

Sebab itu, tegaslah perintah Allah ini datang, yaitu supaya bersiap terus dengan segala macam alat senjata yang ada. Pada zaman Nabi kita Muhammad saw. orang berperang dengan pedang dan tombak. Kian lama persenjataan kian maju, sampai kepada bedil dengan segala macam gun (senjata), sampai kepada meriam dan akhir ini sampai kepada peluru kendali dan bom nuklir. Maka ayat ini selalu berbunyi pada telinga kita, supaya kita bersiap terus dan bersiap terus menuruti perkembangan persenjataan itu. Di zaman Rasul saw. sangat penting artinya kuda peperangan. Dan sampai kepada zaman kita sekarang ini, belumlah mundur kepentingan kuda dalam perang. Di samping itu, telah timbul kendaraan-kendaraan bermotor untuk perang, Panse Wagon, truk, tank, kendaraan berlapis baja, ditambah lagi sekarang dengan kepentingan angkatan udara.

Yang lebih dahulu ditekankan ialah ketaatan kepada Allah dan Rasul. Yang lebih dahulu ditekankan ialah iman. Jadi, kalau cara sekarangnya, hendaklah pemegang-pemegang senjata itu orang yang berideologi. Yang sadar benar untuk apa senjata itu dipakai.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 345-346, Jilid 4 Hal. 33-34, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JANGGAL

Jika kelihatan sesuatu yang janggal, bukanlah karena salah agama.

Hanya membaca matan-matan kitab yang beku, tidak dituntun oleh ilmu pengetahuan agama yang sejati, yang bernama Ruhusy Syari’ah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 433, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DISURUH TOBAT

“… Dan tobatlah kamu sekaliannya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beroleh kejayaan.” (an-Nuur: 31).

Disuruh tobat, karena selama laki-laki masih laki-laki dan perempuan masih perempuan, selama burung di dahan dan binatang di hutan masih berkelamin jantan dan betina, selamanya itu pula manusia tidak akan terlepas dari rayuannya. Jaranglah hati laki-laki yang tidak tergetar melihat perempuan cantik. Jaranglah perempuan yang tidak terpesona melihat laki-laki gagah tampan (ganteng kata orang Jakarta). Islam tak menutup mati perasaan itu, sebab dia tidak dapat dipisahkan dari hidup itu sendiri. Tetapi Islam menyuruh menjaganya baik-baik dan mengaturnya supaya dituntun oleh iman, diperintahkan membatasi diri, menekurkan mata, menahan hati dan menjaga kehormatan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 295, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ISLAM SUDAH SANGAT SEMPURNA

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan telah Aku lengkapkan atas kamu nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam itu untuk agama bagi kamu …” (al-Maa’idah: 3).

Dalam hal-hal yang musykil berkenaan dengan urusan dunia, pun telah cukup pula agama memberikan bimbingan. Kenyataan pertama ialah agama murni menurut yang diturunkan dari langit, yang telah cukup dan sempurna, tidak dapat dikurangi atau ditambah lagi. Orang yang menambah-nambah, bernama tukang Bid’ah.

HIJAB (TABIR)

Sebelum Perang Dunia Kedua, ulama-ulama Muhammadiyah (anggota laki-laki) dengan Aisyiah (anggota perempuan), hendaklah memakai tabir pembatas. Apakah sebabnya ulama tarjih memutuskan demikian? Adakah perintah yang jelas (nash yang sharih) mewajibkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits? Yang mewajibkan bertabir itu tidak ada untuk satu musyawarah. Yang ada hanyalah jika seorang laki-laki hendak bercakap-cakap dengan istri-istri Rasulullah hendaklah dari balik tabir. (Lihat surah al-Ahzaab, ayat 53). Sebab itu, nash yang sharih di ayat ini hanyalah kalau seorang Mukmin hendak menanyakan sesuatu kepada istri-istri Rasulullah hendaklah dari balik hijab (tabir).

Tidak ada dalam ayat ini yang dapat diambil keterangan buat mewajibkan memasang tabir kalau ada pertemuan orang banyak di antara laki-laki beriman dengan perempuan-perempuan yang beriman. Tetapi tuntunan jika ada pertemuan bersama laki-laki dengan perempuan beriman itu ada tersebut dengan jelas di dalam surah an-Nuur ayat 30-31. Yaitu supaya perempuan-perempuan beriman menahan penglihatan, memelihara kehormatan dan jangan menonjolkan perhiasan (kecantikan), dan Mukmin laki-laki pun diperintahkan menahan penglihatan, memelihara kehormatan (ayat 30). Jadi dalam kedua ayat ini hanya sama-sama diperintah agar dalam pertemuan umum menjaga sopan santun.

Tetapi mengapa Majelis Tarjih pada waktu itu menyuruh adakan tabir pembatas pertemuan laki-laki dan perempuan? Di sini berlakulah ijtihad. Yaitu yang dinamai,

“Menutup pintu bahaya.”

Niscaya hasil pendapat yang seperti ini dipengaruhi oleh ruang dan waktu di masa itu. Dan ketika hal ini diperbincangkan sebelum diputuskan, tetap ada perlainan pendapat. Tidak seluruhnya setuju dengan pendapat wajib memakai tabir.

Setelah 30 tahun di belakang, beberapa ulama dalam kalangan Muhammadiyah sendiri tidaklah teguh lagi mempertahankan memakai tabir, melainkan berpegang kepada nash yang nyata dalam surah an-Nuur ayat 30 dan 31 itu saja.

PERTUKARAN PIKIRAN YANG DAHSYAT DI ANTARA ULAMA MUHAMMADIYAH

Pada Tahun 1930 terjadi pertukaran pikiran yang dahsyat di antara ulama Muhammadiyah Kiai Haji Mas Mansur dan guru dan ayah saya, Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah, dalam soal perempuan berpidato di hadapan majelis umum yang dihadiri oleh banyak kaum laki-laki. Ayahku mulanya berpendapat “haram” perempuan berpidato di hadapan laki-laki. Dan Kiai H. Mas Mansur mulanya berpendirian bahwa perempuan berpidato di hadapan laki-laki itu tidak haram melainkan jaiz (boleh) saja, tidak terlarang. Setelah mereka bertukar pikiran dalam suasana ilmiah agama yang tinggi 2-3 jam lamanya, akhirnya mereka keduanya sependapat bahwa pidato perempuan di hadapan majelis laki-laki itu adalah makruh.

Mengapa yang satu menurun dari “haram” ke makruh, dan yang satu naik dari jaiz ke makruh?

Sebabnya jelas saja, ialah tidak ada nash dari Al-Qur’an dan Hadits yang melarangnya. Tetapi kedua alim besar itu berijtihad memakai pikiran masing-masing di dalam menetapkan hukum.

Syekh Abdul Karim Amrullah lebih banyak menilik kaedah menutup pintu bahaya tadi. Dan beliau pun memakai kaidah Ushul Fiqh yang terkenal,

“Menolak kebinasaan lebih dahulu daripada mengambil maslahat.”

Sedang Kiai Haji Mas Mansur memandang bahwa manfaatnya lebih banyak daripada mudharatnya, agar orang laki-laki dapat mendengarkan langsung suara hati kaum perempuan, dan yang akan dibicarakan oleh perempuan itu tidak lain daripada urusan-urusan yang mengenai agama juga.

Akhirnya setelah bertukar pikiran, mereka jadi sepaham.

Syekh Abdul Karim Amrullah mengakui bahwa tidak ada nash yang melarang. Kiai Haji Mas Mansur mengakui bahwa memang bisa timbul mudharat bagi laki-laki bila melihat perempuan naik mimbar, bukan isi pembicaraan perempuan itu yang didengarnya, tetapi kecantikan wajah perempuan itu yang diperhatikannya.

Akhirnya mereka sependapat bahwa hukumnya makruh.

Dan dalam kaidah ushul pun tersebut bahwa suatu yang dihukumkan makruh, bisa hilang makruhnya itu bila datang suatu darurat.

Tetapi akhirnya keduanya pun sama pendapat bahwa pidato perempuan di hadapan majelis orang laki-laki yang beribu-ribu banyaknya, di dalam Tahun 1930, di kota Bukittinggi Alam Minangkabau, lebih baik ditiadakan saja. Sebab Syekh Muhammad Jamil Jambek mengeluarkan pendapat bahwa keadaan demikian belum sesuai dengan adat istiadat Minangkabau, pada Tahun 1930.

Akhirnya pidato itu ditiadakan.

Apakah yang kita lihat di sini?

Ialah perbedaan pendapat karena perlainan iklim di antara Kiai Haji Mas Mansur yang berdiam di Surabaya dengan Syekh Abdul Karim Amrullah yang berdiam di Sungai Batang Maninjau. Buku dan kitab yang dibaca sama, sumber Al-Qur’an dan Hadits sama, tetapi dalam istiadat berbeda karena pengaruh ruang dan waktu. Dan tidak ada di antara kita yang akan mengatakan bahwa kedua pendapat dari kedua ulama itu bukan agama. Bahkan keduanya adalah termasuk dalam rangka pembinaan agama. Tetapi kalau salah satunya sudah di-taqlid-i saja oleh yang datang kemudian, atau disamakan nilainya dengan Al-Qur’an dan Hadits, membekulah pikiran manusia dan beku (jumud) pulalah perkembangan agama.

Dari segi ini haruslah kita lihat pula isi firman Allah dalam ayat ini. Yaitu bahwasanya agama Islam telah sempurna, dengan arti bahwa pokok yang mengenai hukum ibadah tidak dapat ditambah lagi dan Nabi baru tidak akan datang lagi.

Dan Islam pun sudah sangat sempurna, sebab dia memberikan kebebasan kepada manusia yang mempunyai kelayakan buat berpikir dan berijtihad.

Ini pulalah sebabnya terdapat fatwa Imam Syafi’i yang qadim, yaitu ketika beliau masih tinggal di Irak dan yang jadid, yaitu setelah beliau berpindah dan menetap di Mesir.

Yang menunjukkan bahwa Islam itu sendiri telah sempurna, dan manusia yang berijtihad mempergunakan pikirannya pun mencari yang mendekati kesempurnaan itu pula, dengan menilik ruang dan waktu, sebab hukum dan akibat hukum.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 599-603, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KIAI DAHLAN VS. HAJI ROSUL

Sejak periode awal pembentukannya di awal Abad ke-20, perdebatan antara Jawa dan luar Jawa telah berlangsung di Muhammadiyah. Dari sisi ideologi, barangkali Muhammadiyah banyak dibentuk oleh pemikiran Haji Rosul, ayah Buya HAMKA, dari Sumatra Barat. Kiai Dahlan dan Haji Rosul itu merupakan dua sosok yang pemikiran keagamaannya sulit dipertemukan. Haji Rosul adalah ulama yang banyak mewarisi pemikiran kelompok Padri yang kaku dalam beragama. Alfian (1989) menyebut Rosul sebagai puritan sejati. Pendekatan keagamaannya keras dan tanpa ampun.

(Ahmad Najib Burhani, MUHAMMADIYAH BERKEMAJUAN: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme, Hal. 121-122, Penerbit Mizan, Cet.1, 2016).

PURITAN, SALAFIS DAN PROGRESIF DI MUHAMMADIYAH

Orang puritan di Muhammadiyah memiliki model keberagaman yang unik.

PURITAN

Kelompok puritan beranggapan bahwa perempuan harus aktif di publik, tapi tempat mereka harus dipisahkan dari laki-laki. Jilbab bagi perempuan bukanlah sesuatu yang wajib, tapi dianjurkan oleh agama.

SALAFIS

Kelompok kedua adalah salafis. Orang salafi percaya bahwa tempat ideal perempuan adalah di rumah. Kalau terpaksa mereka harus ke luar rumah, seperti sekolah, maka perempuan harus dipisahkan dari laki-laki. Konsekuensi lain dari pandangan ini, hukum pemakaian jilbab adalah wajib.

PROGRESIF

Berhadapan dengan salafi, adalah kalangan progresif. Kelompok ini penganjur agar perempuan aktif di publik dengan tanpa ada pemisahan dari laki-laki, menganggap jilbab sebagai bagian dari budaya Arab yang tidak wajib ditiru.

(Ahmad Najib Burhani, MUHAMMADIYAH BERKEMAJUAN: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme, Hal. 65-66, Penerbit Mizan, Cet.1, 2016).

TAFSIR QS. AL-AHZAAB 59-62

PAKAIAN SOPAN

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istri engkau dan anak-anak perempuan engkau dan istri-istri orang-orang yang beriman, hendaklah mereka melekatkan jilbab mereka ke atas diri mereka. Yang demikian itu ialah supaya mereka lebih mudah dikenal, maka tidaklah mereka akan diganggu orang. Dan Allah adalah Pemberi Ampun dan Penyayang. Sesungguhnya jika tidak juga berhenti orang-orang yang munafik itu dan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan pengacau-pengacau di Madinah, niscaya akan Kami kerahkan engkau terhadap mereka. Kemudian itu tidaklah mereka akan bertetangga lagi dengan engkau di situ kecuali dalam masa sedikit. Mereka dalam keadaan terkutuk di mana saja mereka dijumpai dan mereka akan dibunuh sampai semusnah-musnahnya.” (al-Ahzaab: 59-61).

Selangkah demi selangkah masyarakat Islam itu ditentukan bentuknya agar berbeda dengan masyarakat jahiliyyah. Terutama ditunjukkan perbedaan pakaian perempuan yang menunjukkan adab sopan santun yang tinggi. Sebelum peraturan ini turun tidaklah berbeda pakaian perempuan Islam dengan perempuan musyrik. Tidak berbeda pakaian budak-budak perempuan pembantu rumah tangga dengan pakaian perempuan merdeka. Oleh karena di masa itu orang belum mempunyai kakus di dalam rumah sebagaimana sekarang, maka kalau perempuan hendak membuang hajatnya, keluarlah mereka setelah hari mulai malam ke tempat yang agak tersisih, di situlah mereka membuang hajat. Di waktu demikianlah kesempatan yang baik bagi pemuda-pemuda jahat untuk mengganggu. Mereka sama-ratakan saja perempuan baik-baik dengan budak-budak. Tetapi kalau perempuan yang diganggu itu bersorak-sorak, mereka pun lari. Maka datanglah ayat ini, “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istri engkau dan anak-anak perempuan engkau dan istri-istri orang-orang yang beriman, “Hendaklah mereka melekatkan jilbab mereka ke atas diri mereka.” (al-Ahzaab pangkal ayat 59). Di dalam ayat ini Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah SWT supaya memerintahkan pula kepada istri-istrinya dan anak-anaknya yang perempuan. Setelah itu ialah kepada istri-istri orang yang beriman. Supaya kalau mereka keluar dari rumah hendaklah memakai jilbab. Di samping kepada istri-istri dan kepada anak-anak perempuan beliau itu, perintah ini pun hendaklah disampaikan pula kepada istri-istri dari orang-orang yang beriman. Yaitu supaya mereka melekatkan jilbab ke atas badan mereka. Kata jamak dari jilbab ialah jalaabib.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa jilbab itu lebih luas dari selendang. Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, keduanya sahabat Rasulullah yang terhitung alim mengatakan bahwa jilbab ialah rida’, semacam selimut luas. Al-Qurthubi menjelaskan sekali lagi, “Yang benar ialah sehelai kain yang menutupi seluruh badan.” Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab ialah ditutupkan ke badan di atas daripada selendang. Sufyan Tsauri memberikan penjelasan, bahwa makanya istri-istri Nabi dan anak-anak perempuan beliau dan orang-orang perempuan beriman disuruh memakai jilbab di luar pakaian biasa ialah supaya jadi tanda bahwa mereka adalah perempuan-perempuan terhormat dan merdeka, bukan budak-budak, dayang dan bukan perempuan lacur. As-Suddi berkata, “Orang-orang jahat di Madinah keluar pada malam hari seketika mulai gelap, mereka pergi ke jalan-jalan di Madinah, lalu mereka ganggui perempuan yang lalu lintas. Sedang rumah-rumah di Madinah ketika itu berdesak-desak sempit. Maka jika hari telah malam perempuan-perempuan pun keluar ke jalan mencari tempat untuk membuangkan kotoran mereka. Di waktu itulah orang-orang jahat itu mulai mengganggu. Kalau mereka lihat perempuan memakai jilbab tidaklah mereka ganggu. Mereka berkata, “Ini perempuan merdeka, jangan diganggu”. Kalau mereka lihat tidak memakai jilbab, mereka berkata, “Ini budak!”, lalu mereka kerumuni.”

Itulah sebab maka lanjutan ayat berbunyi, “Yang demikian itu ialah supaya mereka lebih mudah dikenal, maka tidaklah mereka akan diganggu orang.” Karena dengan tanda jilbab itu jelaslah bahwa mereka orang-orang terhormat. “Dan Allah adalah Pemberi Ampun dan Penyayang.” (al-Ahzaab ujung ayat 59). Maksud ujung ayat ialah menghilangkan keragu-raguan manusia atas kesalahan selama ini, sebelum peraturan ini turun. Karena orang-orang terhormat, perempuan-perempuan beriman berpakaian sama saja dengan budak dan perempuan lacur. Sama saja dengan koteka di Papua, yang khas hanya penutup alat kelamin yang membuat malu orang yang beradab jika melihat orang berpakaian begitu. Jika orang-orang Papua itu telah hidup dalam peradaban dan kemajuan, niscaya akan ada di antara mereka yang merasa dirinya berdosa karena selama ini telah membukakan seluruh tubuh di hadapan orang lain, kecuali yang sedikit itu saja yang tertutup. Maka ujung ayat ini pun dapatlah mengenai diri mereka, bahwa Allah SWT sudi memberi ampun dan Allah itu Maha Penyayang kepada hamba-Nya. Sebelum syari’at datang, cukuplah akal dengan sekadar kecerdasan yang terbatas itu saja jadi penimbang buruk dan baik.

JILBAB DI INDONESIA

Ketika penulis datang ke Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan dalam Tahun 1926, penulis masih mendapati kaum perempuan di sana memakai jilbab. Yaitu kain sarung ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja yang kelihatan. Asal saja mereka keluar dari rumah hendak menemui keluarga di rumah lain, mereka tetap menutup seluruh badan dengan memasukkan badan itu ke dalam kain sarung dan salah satu dari kedua belah tangannya memegang kain itu di muka, sehingga hanya separuh yang terbuka, bahkan hanya mata saja. Seketika penulis datang ke Makassar pada Tahun 1931 sampai meninggalkannya pada Tahun 1934, perempuan-perempuan yang berasal dari Selayar berbondong-bondong pergi ke tempat mereka jadi buruh harian memilih kopi di gudang-gudang di Pelabuhan Makassar, semuanya memakai jilbab, persis seperti di Langkat itu pula. Seketika penulis pergi ke Bima pada Tahun 1956 penulis masih mendapati perempuan di Bima jika keluar dari rumah berselimutkan kain sarung sebagaimana di Langkat 1927 dan di Makassar 1931 itu pula. Seketika penulis pergi ke Gorontalo pada Tahun 1967 (40 tahun sesudah ke Langkat) penulis dapati perempuan-perempuan Gorontalo memakai jilbab di luar bajunya, meskipun pakaian yang di dalam memakai rok modern. Pergerakan perempuan Islam di bawah pimpinan ulama-ulama pun membuat pakaian perempuan yang memegang kesopanan Islam yang tidak memperagakan badan. Gerakan Aisyiyah di Tanah Jawa atas anjuran Kiai H.A. Dahlan selain memakai khimaar (selendang) yang dililitkan ke dada agar dada jangan kelihatan, dibawa pula untuk menutup kepala. Ketika saya mulai datang ke Yogyakarta pada Tahun 1924 (3 tahun sebelum ke Tanjung Pura Langkat) kelihatan di samping khimaar penutup kepala dan dada itu, Aisyiyah pun memakai jilbab di luarnya. Pakaian secara begini menjalar ke seluruh tanah air dalam pergerakan Islam. Almarhum Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah mempertahankan khimaar dengan dililitkan pada muka dan kepala dengan kemas sekali, muka tidak ditutup. Seorang perempuan pergerakan yang sama pengguruannya dengan Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah, yaitu Rangkayo Hajah Rasuna Said tidak pernah lepas khimaar (selendang) itu dari kepala beliau. Menjadi adat istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari haji, lalu memakai khimaar (selendang) yang dililitkan di kepala dengan di bawahnya dipasak dengan sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan. Tetapi di zaman akhir-akhir ini perempuan-perempuan modern yang mulai tertarik kembali kepada agama, lalu pergi naik haji, di Jakarta (1974) pernah mengadakan suatu mode show (peragaan pakaian) di Bali Room Hotel Indonesia memperagakan pakaian modern yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menghilangkan rasa keindahan (estetika). Beberapa tahun yang lalu tukang-tukang mode di Eropa membuat kaum perempuan setengah gila dengan keluarnya mode rok mini, yaitu rok yang sangat pendek sehingga sebagian besar paha jadi terbuka. Tetapi kemudian mereka bosan juga sehingga timbul rok maxi, yaitu rok panjang atau longdress yaitu pakaian panjang sampai ke kaki. Perempuan-perempuan modern yang telah haji lalu memakai longdress atau rok panjang itu jadi stelan pakaian orang haji.

Dalam ayat yang kita tafsirkan ini jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh Al-Qur’an. Yang jadi pokok yang dikehendaki Al-Qur’an ialah pakaian yang menunjukkan iman kepada Allah SWT, pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki. Alangkah baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepada Allah SWT, bukan yang beriman kepada uang dan kepada daya tarik syahwat nafsu (sex appeal).

“Sesungguhnya jika tidak juga berhenti orang-orang yang munafik itu dan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan pengacau-pengacau di Madinah, niscaya akan Kami kerahkan engkau terhadap mereka.” (al-Ahzaab pangkal ayat 60).

Perangai buruk ini ternyata tiga coraknya.

Pertama, munafik, kedua, dalam hati ada penyakit dan ketiga selalu mengacau.

Tiga perangai bukan berarti tiga macam golongan, lalu dibagi-bagi orangnya: si anu munafik, si fulan berpenyakit dalam hatinya dan si fulan tukang kacau.

Orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, menurut keterangan Ikrimah, seorang ulama tabi’in ialah orang yang pikirannya tidak sehat lagi karena telah terpusat kepada syahwat terhadap perempuan saja. Ingatannya siang malam hanya kepada perempuan bagaimana supaya nafsunya lepas dengan berzina. Orang-orang semacam inilah yang mengintip perempuan yang keluar setelah hari malam, sehingga terpaksa turun wahyu memerintahkan istri-istri Nabi dan anak-anak perempuan Nabi dan istri-istri orang beriman memakai jilbab kalau keluar dari rumah, baik siang, apatah lagi malam. Ungkapan Al-Qur’an tentang orang ini, yaitu “orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit”, adalah ungkapan yang tepat sekali. Ahli-ahli ilmu jiwa modern pun berpendapat bahwa orang semacam ini tidak normal lagi. Baik dia laki-laki atau dia perempuan. Penyakit ketagihan bersetubuh itu dinamai sex maniac. Telah tumpul otaknya karena kekuatan energi dirinya telah terkumpul kepada alat kelaminnya belaka.

Orang-orang semacam ini dapat mengacaukan masyarakat yang sopan. Dia tidak tahu malu. Penglihatan matanya sudah ganjil, meleleh seleranya melihat pinggul orang perempuan atau melihat susu mereka di balik kain.

“Pengacau-pengacau” kita pilih jadi makna dari kalimat al-Murjifuuna. Sebab al-Qurthubi di dalam tafsirnya memberikan tafsiran demikian. “Al-Murjifuuna di Madinah ialah kaum yang selalu menyiarkan berita-berita buruk kepada orang-orang yang beriman yang akan menggoncangkan hati mereka. Kalau Rasulullah pergi berperang, maka sebelum datang berita dari Rasulullah sendiri mereka terlebih dahulu telah membuat berita sendiri, misalnya bahwa perang Rasulullah kalah, kabarnya si anu mati terbunuh, atau sekian ribu musuh telah bersiap hendak menyerbu ke Madinah.” Pendapat ini dikemukakan oleh al-Qurthubi dari penafsiran Qatadah.

Ibnu Abbas menjelaskan arti irjaaf sebagai pokok kata dari murjifuun, ialah mencari-cari fitnah. Atau menyebarkan berita-berita bohong untuk mencari keuntungan dari penyebaran berita begitu. Di dalam ayat 6 dari surah an-Naazi’aat ada tertulis, “Di hari itu akan bergoncanglah goncangan.” (an-Naazi’aat: 6). Sebab itu rajafa dan raajifah itu berarti juga goncang dan gempa. Sebab itu maka tukang-tukang pengacau itu ialah orang-orang yang suka sekali menyebarkan berita-berita yang menggoncangkan, bahkan mengacaukan. Itulah yang di dalam kata modern disebut orang tukang provokasi. Tukang kacau, tukang sebarkan berita bohong. Tukang bikin ribut. Di zaman perang dahulu disebut radio lutut. Orang yang lemah jiwanya, atau orang banyak yang tidak sempat berpikir (massa psychology) bisa cepat terpengaruh oleh berita-berita bohong semacam ini.

Maka Allah SWT mengancam bahwa jika ketiga perangai itu masih ada dan bukti-bukti telah dikumpulkan, “akan kami kerahkan engkau terhadap mereka”. Tegasnya kalau perangai-perangai buruk itu tidak juga diubah, Allah akan mengizinkan Nabi memusnahkan mereka, menangkapi mereka, memerangi mereka, menghapuskan pengaruh mereka.

Akibatnya ialah, “Kemudian itu tidaklah mereka akan bertetangga lagi dengan engkau di situ.” Artinya bahwa mereka akan dimusnahkan atau sekurang-kurangnya bahwa orang-orang yang diragukan kesetiaannya disuruh saja pindah ke negeri lain, sebagaimana telah dilakukan dengan orang-orang Yahudi dari tiga kaum itu, Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah.

“Kecuali dalam masa sedikit.” (al-Ahzaab ujung ayat 60).

Artinya bahwa kalau perintah Allah SWT datang menggencet mereka, tidaklah akan lama mereka dapat hidup sentosa. Kian lama hidup mereka akan kian sempit. Atau hanya sedikit masa diberi kesempatan buat mereka tinggal di Madinah. Karena barangsiapa yang dibolehkan tinggal di Madinah berartilah bahwa dia telah menjadi tetangga Rasulullah saw. Bagaimana orang-orang yang telah terang-terangan jadi musuh akan dibiarkan jadi tetangga.

“Mereka dalam keadaan terkutuk di mana saja mereka dijumpai.” (al-Ahzaab pangkal ayat 61).

Artinya bahwa yang tidak segera mengubah perangai-perangai buruk itu sekurangnya akan diusir. Memang setelah turun surah Bara’ah atau at-Taubah pernahlah orang-orang yang ditandai masih munafik itu diusir keluar dari dalam masjid.

Orang-orang Islam berkata kepada mereka, “Keluar dari sini! Engkau munafik!”

Maka orang-orang yang telah terusir itu akan hinalah dia ke mana saja pun dia pergi. Ke mana dia akan pergi di waktu itu? Padahal kian lama kekuasaan Islam makin meluas. Niscaya akan ditanyakan orang, “Dari mana orang baru ini dahulunya?” Bukankah dia ini dahulu tinggal di Madinah, kota Rasul? Mengapa dia telah di sini sekarang? Apakah dia dimuntahkan oleh masyarakat Muslim?

“Dan mereka akan dibunuh sampai semusnah-musnahnya.” (al-Ahzaab ujung ayat 61).

Artinya bahwa kalau mereka tidak mengubah perangai salah satu dari dua akan mereka temui. Pertama, diusir habis dan menjadi orang hina di mana saja mereka dijumpai. Atau yang kedua, yaitu dibunuh dibikin habis. Yang kedua ini tidaklah sampai bertemu, karena dengan meninggalnya orang yang mereka anggap pemimpin mereka, yaitu Abdullah bin Ubay, maka yang tinggal sudah berdiam diri dan tunduk.

“Sunnah Allah.” (al-Ahzaab pangkal ayat 62).

Artinya begitulah peraturan Allah yang tidak bisa berubah lagi.

“Yang telah berlaku pada orang-orang yang telah terdahulu.”

Artinya pembersihan ke dalam sesudah selesai pembersihan keluar, membasmi kejahatan Yahudi.

“Dan sekali-kali tidak akan didapati bagi Sunatullah itu suatu pengganti.” (al-Ahzaab ujung ayat 62).

Kalau pembersihan tidak dilakukan, niscaya agama dan kekuasaan yang telah berdiri akan dihancurkan dari dalam oleh orang-orang yang kesetiaannya diragukan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 259-266, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AL-QUR’AN BUKAN BUKU MODE!

Sekarang timbullah pertanyaan, “Tidakkah Al-Qur’an memberi petunjuk bagaimana hendaknya gunting pakaian? Apakah pakaian yang dipakai di waktu sekarang oleh perempuan Mekah itu telah menuruti petunjuk Al-Qur’an, yaitu yang hanya matanya saja kelihatan?

Al-Qur’an bukan buku mode!

Kalau suatu bangsa telah mudah saja meniru-niru pakaian bangsa lain, tandanya, bahwa pertahanan jiwa bangsa itu mulai goyah.

Yang diperingatkan oleh Islam kepada umatnya yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan ialah supaya mata jangan diperliar, kehormatan diri dan kemaluan hendaklah dipelihara, jangan menonjolkan perhiasan yang seharusnya tersembunyi, jangan membiarkan bagian dada terbuka, tetapi tutuplah baik-baik. Di samping pakaian-pakaian menyolok mata yang dipakai bintang-bintang film, atau pakaian mandi bikini yang ditolak oleh rasa susila, perempuan Barat pun mempunyai pakaian yang sangat sopan, baik di Amerika ataupun di Eropa. Banyak mode pakaian mereka yang sesuai dengan kehendak Al-Qur’an.

Tidaklah seluruh pakaian Barat itu ditolak oleh Islam, dan tidak pula seluruh pakaian negeri kita dapat menerimanya. Kebaya model Jawa yang sebagian dadanya terbuka, tidak dilindungi oleh selendang, dalam pandangan Islam adalah termasuk pakaian “You can see” juga. Baju kurung cara-cara Minang yang guntingnya sengaja disempitkan sehingga jelas segala bentuk badan laksana ular melilit, pun ditolak oleh Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 291-297, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RESEP UNTUK ORANG YANG SUKA MENCELA

Dua jenis obat yang manjur untuk mengobati penyakit budi, yaitu ilmu dan amal. Menghentikan kebiasaan membicarakan kekurangan orang lain hendaklah dengan mengukur diri sendiri yaitu memikirkan bagaimana perasaan kita jika sekiranya kita dibicarakan orang. Sebelum mengetahui cela orang lain, cobalah bertanya kepada diri sendiri, adakah diri itu bersalah atau sucikah dia dari dosa? Sesudah memeriksa diri sendiri, terdapat beberapa kesalahan. Jika telah tahu bahwa diri bersalah sebab dia tidak kuat membersihkan dirinya dari kesalahan, kita pun demikian pula sanggup menghapuskan kesalahan itu sekaligus. Itu yang berhubungan dengan perangai.

Sekarang kita cela orang lain karena badannya pendek, terlalu gemuk, keringatnya bau, atau mukanya buruk. Coba pikirkan siapakah sebenarnya yang kita cela? Jika yang kita cela manusia, siapakah yang membuatnya pendek, tinggi, kurus, gemuk dan lain-lainnya? Bukankah Allah SWT? Apabila kita merasa telah diciptakan Allah SWT dengan bagus dan cantik, bersyukurlah pada Allah SWT. Jangan kita pindahkan pula kepada keburukan orang lain karena memburukkan orang lain itu adalah cacat dari kecantikan yang kita syukuri tadi sebab menghinakan orang lain dan mencelanya sama dengan memakan dagingnya. Memakan daging manusia adalah suatu perbuatan biadab.

Manusia yang tidak tahu kekurangan dirinya (hanya mengetahui kekurangan orang lain saja) itulah yang sebesar-besarnya dosa. Oleh sebab itu, jika kita tidak suka dibicarakan orang di belakang kita, janganlah membicarakan orang lain di belakangnya. Menahan lidah dari membicarakan aib orang lain adalah tanda kekuatan iman. Membicarakan orang lain dengan mulut adalah terlarang. Pintu membicarakan dengan mulut itu ialah membicarakan dengan hati, baru mengalir ke mulut. Oleh sebab itu, sebelum orang menggunjing dengan mulutnya lebih dahulu digunjing di dalam hatinya.

Bagaimana pula mengobati penyakit ini?

Pintu hati yang mengumpat itu ialah buruk sangka kepada orang lain. Bilamana kita telah buruk sangka, menyangka bahwa orang itu menghinakan, merendahkan atau tidak menghargai kita, lama-lama akan menjadi penyakit, persahabatan renggang dengan sendirinya sebab lama-lama perasaan itu terkatakan pula kepada orang lain. Timbullah perbuatan orang munafik, pepat di luar pancung di dalam, apabila berhadapan mulutnya manis, tetapi di belakang lain bicara. Gunjing, umpat, cela dan caci maki menjadi kebiasaan sehingga akhirnya bibir bagai madu, hati bagai empedu. Perasaan yang begini telah disinyalir Allah SWT dengan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (al-Hujuraat: 12). Diharamkan buruk sangka kepada sesama manusia karena rahasia hati masing-masing kita hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Oleh sebab itu, janganlah sampai dihidup-hidupkan prasangka bahwa orang benci kepada diri kita atau dia hendak menganiaya. Jika tidak ada bukti yang sah, janganlah menuduh orang lain sebab itu merupakan tanda bahwa kita telah dipengaruhi oleh Setan. Bisik desus Setan hendaklah diperangi karena Setan raja dari segala macam kefasikan. Firman Allah SWT pula, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan).” (al-Hujuraat: 6). Artinya dengan kabar yang belum sah dan bukti yang terang sebab kadang-kadang si fasik senang benar menjadi wakil Setan, membawa kabar ke sana lain, ke sini pun lain, senang benar hatinya jika kaum Muslimin kacau balau.

Maka dari itu, jika telah datang perasaan atau kabar dari orang fasik yang memburuk-burukkan orang lain sehingga timbul sangka-sangka bahwa orang lain itu bermaksud jahat atas diri Anda, hendaklah lekas perangi perasaan demikian. Anda tentu maklum bahwa rahasia hati orang yang tersangka itu bukan kepunyaan manusia, tetapi di dalam penjagaan Allah Ta’aala. Kalau hal tersebut hanya fitnah saja, alangkah ruginya Anda, alangkah ruginya masyarakat, dan putus tali silaturahim yang tidak tentu sebab karenanya.

Setan sangatlah pintar. Kadang-kadang dibisikkan pula kepada kita bahwa persangkaan yang demikian timbul lantaran kekuatan firasat atau lantaran kekuatan iman sebab orang yang beriman itu teguh dan tidak pernah mungkir firasatnya. Hati-hatilah, itu pun perdayaan juga sebab orang Mukmin tidak jahat sangka kepada manusia, padahal anak telah jahat sangka tanda imannya telah susut. Jika memang ada bukti-bukti bahwa orang itu salah dan ada harapan untuk menasihatinya, berilah nasihat dengan jujur, jangan menasihati orang di depan umum. Jika dia kirimkan surat tertutup, tunjukkan dengan terus terang kesalahannya, tetapi ikhlas. Cara menulisnya tidak perlu pula ditunjukkan karena hati yang suci akan membebaskan kesucian pula dalam nasihat atau tulisan kita dan diterima oleh yang diberi nasihat dengan tulus pula.

Yang sangat buruk, jahat sangka diiringi oleh peran yang lebih buruk, yaitu mengintip-intip perbuatan orang yang disangka tadi sehingga kita yang jahat sangka tidak senang diam lagi, pikiran kita selalu saja kepada yang disangka.

Oleh sebab itu, mengumpat dan menggunjing bertali dengan jahat sangka dan mengintip-intip. Semua merusak budi dan menghancurkan ketenteraman pergaulan. Mengintip-intip ialah hendak membongkar rahasia orang lain sehingga dia tidak aman lagi di bawah penjagaan Allah SWT. Rahasianya hendak dibuka oleh orang lain.

Satu ketika membuka aib orang lain itu dibolehkan oleh syara’ yaitu untuk mencari kemaslahatan yang lebih besar. Misalnya ketika seorang yang dianiaya orang lain kemudian mengadu kepada hakim, dibukanya kejahatan dan rahasia orang yang menganiaya itu kepada hakim satu per satu sehingga tidak ada yang ketinggalan, cukup dengan bukti. Dia mesti lebih dahulu menetapkan kejahatan orang itu dengan bukti-bukti, barulah pengaduannya bisa diterima oleh hakim.

Mencari daya upaya supaya seorang yang berbuat jahat dapat diperbaiki kejahatannya, kemudian diterangkan kejahatan tersebut kepada orang yang sanggup memberi nasihat dan menuntunnya kepada ajaran yang baik atau meminta fatwa kepada seorang ahli agama dengan membukakan aib orang lain yang bersangkut dengan kejadian itu. Misalnya seorang perempuan bernama Hindun datang kepada Rasulullah saw. mengadu bahwa suaminya, Abu Sufyan, amat bakhil dan tidak mau memberi belanja, perempuan itu minta nasihat Nabi saw., “Bolehkah saya ambil saja hartanya tanpa sepengetahuannya?” Rasulullah saw. kemudian menjawab, “Boleh, ambillah sekadar perlu untukmu dan untuk anakmu.”

Atau memberi nasihat kepada seorang yang akan berserikat berniaga atau bersama-sama di dalam perjalanan. Diterangkan kepada si A kelakuan si B yang akan sama berjalan atau sama berniaga dengan dia, bahwa si B adalah orang yang berbuat curang, tidak membayar utang, dan lain-lain berupa bukti yang lengkap, dengan maksud supaya terpelihara si A dari tipuan si B.

Atau memberi nasihat kepada seorang yang akan menerima menantu (calon suami untuk anaknya) tentang kelakuan tidak baik, yang harus diketahui oleh bakal mertuanya. Semuanya bukan sengaja hendak melepaskan dendam kepada orang yang dikatakan keburukannya itu, tetapi semata-mata mengingatkan kepada yang akan menerima menantu.

Tidak juga mengapa sekiranya dipanggilkan gelarnya yang populer, yang menunjukkan salah satu aibnya, misalnya nama si Saleh banyak, ada Saleh Gemuk, Saleh Pincang, Saleh Bungkuk dan lain-lain. Yakni jika yang digelari itu tidak merasa keberatan lagi dengan gelar yang demikian.

Kerapkali ahli budiman memanggil seorang buta dengan panggilan al-bashir (yang melihat) sehingga orang lain bisa memakluminya. Ada juga orang yang memang sudah menjadi pekerjaannya menjual tuak, pengusaha botol, memelihara perempuan lacur, tauke judi, dan lain-lain sehingga jika dikatakan perbuatannya itu, tidaklah bernama gunjing lagi karena semua orang tahu dari dia sendiri yang menyatakan secara terang-terangan.

Setidaknya mintalah maaf kepada orang yang telah dicela dan digunjing, atau mintalah ampun kepada Allah SWT, berjanjilah tidak akan mengerjakan itu lagi. Angsurlah mengurangi perangai yang jahat supaya suci dari kerendahan budi.

(Buya HAMKA, Akhlaqul Karimah, Hal. 65-71, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).