BUYA HAMKA TENTANG WAHABI

POLITIK PEWAHABIAN

Mengapa nama Wahabi itu sangat dicela dan dibenci orang? Sebab mereka berontak melawan pemerintah, pergi melawan pemerintah Turki Othmani yang beratus tahun menjajah tanah Arab. Maka, karena Turki amat benci kepada kaum yang telah memulai membuka mata bangsa Arab ini, berlomba-lomba ulama yang berdekat kepada kuasa Turki mengarang buku-buku buat mencela kaum ini, sehingga almarhum as-Sayyid Zaini Dahlan tidak segan-segan menuduh bahwa Muhammad Abdul Wahab itu ada pertalian keturunannya dengan Musailamah al-Kadzab (kitab Futuhatil Islamiyah). Sebab-sebab yang diambil alasan buat mencela kaum Wahabi adalah karena mereka sangat menentang pemujaan kepada kubur yang telah dipandang orang sebagaimana orang musyrikin menyembah berhala. Buku-buku mencela Wahabi itu tersebarlah di negeri kita sehingga kata Wahabi dipandang sebagai kata penghinaan.”

Bagi kami yang dikatakan Kaum Muda itu, lanjut HAMKA, tidaklah keberatan jika dituduhkan Wahabi. Kalau 20 atau 30 tahun yang lalu semasa sepengetahuan tentang agama hanya boleh dipercayai oleh mufti-mufti saja, mungkin orang takut dikatakan Wahabi. Tetapi sekarang orang telah tahu pula bahwasanya Wahabi tidak lain daripada penganut Madzhab Hambali dan memang Madzhab Hambali terkenal madzhab yang keras mempertahankan Sunnah. Dan yang berpengaruh memperbaharui faham Madzhab Hambali itu ialah Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Oleh sebab itu, bagi kami dituduh Wahabi bukanlah penghinaan. “Jika dituduh pula kami pengikut Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qayyim, maka tidaklah pula bagi kami penghinaan. Kaum Tua pun suka kepada kitab Zaadul Ma’ad karangan Ibnul Qayyim seperti kami juga. Cuma kami memakai pangkal kitab dan Kaum Tua suka kepada kitab itu karena ada satu pasal di dalamnya tentang ilmu jadi dukun atau tabib.”

(Yusuf Maulana, Buya HAMKA Ulama Umat Teladan Rakyat, Hal. 298-300, Penerbit Pro-U Media, 2018).

SAAT KESADARAN

Rumah keislaman itu telah bobrok, rusaknya bukan dari satu pihak saja. Atapnya telah tiris, dindingnya sudah jarang dan masuk angin dari celah-celah dinding itu, orang yang di dalam kedinginan. Batu-batu sendinya telah teranjak dari tempatnya yang bermula, menyebabkan tonggaknya tidak sama lurus lagi tegaknya, tunjang-tenjengan (tinggi-rendahan), rumput yang ada di halaman rumah itu telah panjang, jenjang telah runtuh, pagarnya rompak dan dapurnya tiada beratap lagi, batunya telah berlumut. Jika kita hendak memanggil tukang untuk memperbaiki, tukang itu tidaklah cukup seorang, melainkan berdua, bertiga, bahkan berpuluh. Kalau perlu rumah itu harus diruntuhkan sama sekali. Perumahannya saja yang wajib didatarkan. Di atas perumahan itu didirikan gedung yang baru, yang kukuh dan kuat. Penganjur-penganjur dan pembangun-pembangun Islam yang datang sejak permulaan Abad ke-19 Masehi adalah seumpama tukang yang datang meruntuhkan rumah lama dan mendatarkan perumahan, serta menegakkan rumah yang baru itu.

Sudah jatuh Kerajaan Bani Abbasiyah di Abad ke-7 Hijriyah (656 M), maka tiap-tiap angin datang yang agak keras, runtuh jugalah rumah itu sehingga yang belum ketirisan dan belum lapuk ke ruang yang tinggal sedikit itulah umat Muslimin yang menumpang di dalamnya, datang melindungkan diri. Itulah Kerajaan Turki Utsmani. Itulah lagi negeri yang dipandang “pertahanan akhir bagi Islam”. Namun, kebangunan Turki adalah laksana geraknya seekor ayam yang telah disembelih ketika hendak mengembuskan napasnya yang penghabisan. Sesudah Turki di zaman Muhammad al-Fatih dapat menaklukkan Kerajaan Byzantium, Sulaiman al-Qanuni dapat menyerang Balkan dan mengepung ibu kota Oostenrijk, negeri Weenen yang masyhur. Namun, setelah itu Turki surut ke bawah, turun dan turun lagi, sampai di zaman Sultan Abdul Hamid. Waktu itu negeri-negerinya di Eropa diambil satu per satu dari tangannya oleh bangsa-bangsa Rusia, Prancis, Oostenrijk, di Timur pun demikian pula. Pemerintahan tiada teratur, agama sangat kolot, pengaruh budak-budak kebiri amat besar di dalam istana. Kepala-kepala perang mengambil uang suap (risywah). Tunisia diambil Prancis, demikian juga Algeria, Mesir diambil Inggris, Balkan memberontak dengan bantuan Rusia, Tripoli diambil Itali. Turki dapat gelar orang sakit di Eropa. Di zaman itulah timbul beberapa pembangun, dari segala segi.

Awal Abad ke-19 adalah zaman kebangunan.

Mula-mula sekali muncul dahulu “seorang” besar di dalam Abad ke-18. Kedatangan yang seorang bermula ini, ialah ketokan yang pertama. Yang dibangunkan ialah jiwa, bukankah jiwa itu pangkal kerusakan dan kesadaran jiwa pangkal kebangunan umum.

1001 macam penyakit menimpa tubuh masyarakat Islam, pangkalnya hanya satu, yaitu kerusakan Tauhid, kerusakan kemerdekaan jiwa.

Kemunduran siasat, kemunduran ekonomi, masyarakat, kezaliman raja-raja, ulama, kelalaian kepala-kepala perang, kemesuman istana. Kerusakan dan kecabulan di dalam negeri pangkal pokoknya hanya satu, ialah kerusakan perhubungan dengan Tuhan, maka Allah takdirkan menimbulkan mujaddid yang pertama untuk kebangkitan, yang sekarang ini. Itulah Muhammad bin Abdul Wahab di Nejed.

Kebangunan Muhammad bin Abdul Wahab yang mula-mula itu adalah seumpama “bom” yang amat keras memukul kubu-kubu pertahanan Islam yang bobrok. Dia memukul sekeras-kerasnya Islam yang telah rusak. Dipandangnya kaum Muslimin di mana-mana di seluruh dunia telah sesat, telah musyrik. Kemusyrikan itu wajib dibanteras dan umat dibawa kembali kepada Tauhid yang khalis.

Kerajaan Turki dipandangnya sebagai induk dari kemusyrikan di dalam Islam. Mekah al-Mukarramah, tempat Ka’bah didirikan, dipandangnya serupa dengan keadaan mula-mula Nabi Muhammad diutus, yakni telah dicampuri syirik. Kubur yang ada di Mekah dan kubur yang ada di Najaf dan Karbala sarang menyerikatkan Tuhan belaka.

Sebab itu Kerajaan Turki merasa bahwa pertahanannya dan kebesarannya terancam. Lalu diperbuatnya sarana di mana-mana menuduh bahwa Muhammad bin Abdul Wahab dan Raja Saudi yang membantunya adalah paham yang sesat di dalam Islam. Banyak belanja dipergunakan untuk sarana itu, sehingga kaum Wahabi dibenci betul-betul oleh seluruh dunia Islam. Banyak “ulama resmi” yang dipergunakan mengarang buku-buku mencela kebangunan itu.

Turki waktu itu telah lemah. Sendiri tiada sanggup dia menghadapi kebangunan di tanah Arab itu, sebab itu disuruhnyalah kerajaan muda yang baru naik, yaitu Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali Basya menyerang kaum Wahabi dan kerajaannya yang telah rata pengaruhnya di seluruh tanah Arab itu. Sebetulnya kalau sekiranya boleh dibentuk menurut kehendak kita yang datang kemudian, tidak patut Kerajaan Wahabi dengan Kerajaan Mesir berperang. Keduanya itu sama-sama hendak bangun dan tidak puas dengan susunan lama, cuma ubahnya. Wahabi bangun dari segi ruh iman dan Mesir bangun dari sebab masuknya tamadun yang dibawa Napoleon ke sana.

Muhammad Ali Basya disuruh Sultan Turki memerangi Wahabi. Peperangan itu adalah jenjang bagi Muhammad Ali Basya untuk meningkatkan derajat lebih tinggi, yaitu pengakuan Turki bahwa Mesir Kerajaan Merdeka, hanya bersahabat dengan Turki di dalam persatuan agama saja. Permintaannya ini terpaksa dikabulkan oleh Turki. Setelah dikabulkan maka Muhammad Ali Basya pergi memerangi Wahabi sehingga kalah dan raja-rajanya ditangkap dan dikirim ke Istanbul serta dihukum bunuh! Kepalanya digantungkan di pintu gerbang kota berbulan-bulan lamanya.

Dengan kemenangan menghadapi kerajaan Wahabi, Muhammad Ali Basya bertambah kuat. Sampai sekali lagi Turki meminta bantu kepada Mesir mengalahkan Yunani. Setelah itu Muhammad Ali meluaskan kuasa mengalahkan Sudan, sampai tentaranya memasuki tanah Habsyi. Akhirnya dirampasnya tanah-tanah wilayah Turki sendiri sampai ke Syam dan tidak berapa jauh lagi tentaranya akan masuk ke Istanbul ibu kota Turki. Kalau sekiranya tidaklah kerajaan Barat campur tangan, tentulah Muhammad Ali Basya sudah sanggup menumbangkan Turki Utsmani. Jadi adalah Turki Utsmani membesarkan anak harimau.

Meskipun Wahabi terpukul jatuh, tetapi awal kebangunan Islam kedua kali dan yang membangkitkan kesadarannya ialah mereka, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikut-pengikutnya.

Raja Ibnu Sa’ud di Dariyah tanah Nejed menerima ajaran beliau dan menjadikan dasar perjuangan mempersatukan tanah Arab.

Muhammad bin Abdul Wahab itulah yang meletakkan batu pertama dari kebangkitan ini. Sudah itu barulah masuk Abad ke-19, di Abad itulah tumbuh beberapa orang besar yang memperbaiki Islam dan kaum Muslimin dari seginya masing-masing.

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 67-71, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).