BUYA HAMKA TENTANG AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Kemenag Patuhi dan Dukung Putusan MK tentang Aliran Kepercayaan

kemenag.go.id/berita/read/506114/kemenag-patuhi-dan-dukung-putusan-mk-tentang-aliran-kepercayaan

PRIBADI DAN MARTABAT BUYA HAMKA

Tidak berapa lama, Majelis Ulama dalam suatu rapatnya memutuskan bahwa Surat Pribadi Buya HAMKA, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia soal kepercayaan yang dikirim kepada Presiden itu, mendapatkan dukungan dan mewakili sikap Majelis Ulama.

(Rusydi HAMKA, PRIBADI DAN MARTABAT BUYA HAMKA, Hal. 234, Penerbit Noura, Cet.I, Januari 2017).

SURAT PRIBADI KEPADA PRESIDEN SOEHARTO
Jakarta, 29 April 1976
(ringkasan)

Mereka bergerak terus sehingga penafsiran Undang-Undang Dasar ’45 tentang Agama dan Kepercayaan itu jadi dipisahkan artinya; Agama lain dan Kepercayaan lain. Sampai ada usaha supaya di dalam Kartu Penduduk di samping ditulis agama, hendaklah ditulis KEPERCAYAAN.

Alangkah herannya kaum Muslimin di negeri dan negara lain, mereka mendengar bahwa dengan resmi di Indonesia telah diakui suatu badan agama yang baru, tidak mau bernama Ad’dhin, hanya bernama Al-Iman, dan Majelis Ulama Islam Indonesia tampaknya menerima pula pengakuan itu!

Apakah Majelis Ulama itu tidak berani menyatakan kepada pemerintahnya bahwa pengakuan yang demikian adalah suatu hal yang belum terjadi dalam sejarah Islam di dunia ini?

Oleh sebab “Kepercayaan” ini tidak mau berhubungan dengan AGAMA, niscaya mereka dengan sesuka hati dapat membuat perkiraan sendiri tentang Tuhan. Akan lebih celaka lagi kalau di tangan mereka ada kekuasaan, tentu perkiraan merekalah yang wajib dipakai, dan apa yang ditentukan oleh agama bisa dipandang salah, demi Pancasila!

Di samping itu, kalau Pak Harto ingin mendapatkan keterangan lebih jauh, saya bersedia untuk membicarakannya. Demikianlah keterangan saya. Besarlah kepercayaan saya bahwa Pak Harto yang saya hormati dan muliakan akan dapat menerima penjelasan saya ini dengan dada yang lapang dan pengertian yang mendalam.

Dengan segala hormat,
D.t.o.
(Prof. DR. HAMKA)

(Rusydi HAMKA, PRIBADI DAN MARTABAT BUYA HAMKA, Hal. 336-343, Penerbit Noura, Cet.I, Januari 2017).

BUYA HAMKA SOSOK TELADAN: Pengawal Akidah Umat

kemenag.go.id/home/artikel/12724

TIDAK MENEGUR

“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah itu, adalah jadi bakaran neraka Jahannam.” (al-Anbiyaa’ pangkal ayat 98).

Kamu dan yang kamu sembah itu, baik kayu atau batu, apatah lagi sesama manusia, kalau sesama manusia itu menganjurkan supaya dirinya disembah seperti menyembah Allah. Atau dia orang, tidak menegur ketika manusia telah menuhankannya atau mendewa-dewakannya. Si penyembah dan yang disembah akan sama-sama jadi penyala api neraka Jahannam.

KEKAL DI NERAKA JAHANNAM

Ibnu Mas’ud berkata, “Orang yang diadzab kekal di Neraka Jahannam itu dimasukkan ke dalam peti dari api. Peti itu dalam peti lagi, hingga berlapis, lalu dipaku di luarnya, sehingga suatu pun tidak ada yang mendengar. Dan siapa-siapa yang telah dimasukkan ke dalam peti berlapis itu tidaklah melihat orang lain yang sama diadzab, sebab ia di dalam peti sendiri-sendiri.”

“Mereka itu daripadanya akan dijauhkan.” (ujung ayat 101).

Orang itu tidak usah khawatir. Sebab mereka itu akan dijauhkan Allah SWT daripada adzab semacam itu. Sebab tidak ke sana jalan yang ditempuhnya di kala hidupnya. Berkata Ibnu Abbas, “Itulah orang-orang yang telah diangkat menjadi wali-wali Allah, yang mereka lalu saja di atas titian shirath secepat kilat. Sedang orang yang kafir merangkak menggapai-gapai.”

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 85-86, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SUATU SYIRIK YANG LEBIH JAHAT LAGI

Yaitu Allah Ta’aala memberi mereka rezeki, lalu sebagian dari rezeki yang diberikan Allah dihadiahkannya kepada berhala, diuntukkannya atau diasingkannya untuk berhala, atau ada bagian yang tertentu untuk pujaan mereka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 188, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERISTIWA SEBELUM PEMBERONTAKAN CILEGON

Apa artinya menjadi orang Islam, di tanah air sendiri pula, apabila perbuatan musyrik mendapat perlindungan dari pemerintah, pegawai pemerintah sendiri telah berani berlancang tangan meruntuhkan menara sebuah langgar?

Niscaya akan datang lagi larangan lain sehingga hilanglah agama Islam dari negeri kita ini.

Haji Wasit menemui temannya Tubagus Haji Isma hendak memperbincangkan bahaya yang menimpa agama ini.

Haji Ismail telah merasa, kawan dan ulama yang lain pun merasa.

Apa akal?

Berontak.

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 92, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017).